Kamis, 04 Juni 2009

Sarik (Tugas Sejarah)

Asal-usul nagari Sariak Lawe (wari nan dijawek,sejarah yang tergali)
LUAK LIMO PULUAH, NAGARI SARIAK LAWE DAN URANG TUO NAN LIMO PULUAH BESERTA KELOMPOK /JURAI

Luak Limo Puluah Koto didirikan oleh 50 (Limo Puluah) Urang Tuo yang turun dari dusun Pariangan Padang Panjang, mereka menuju kesebuah lembah sebelah Utara gunung Sago yang dinamakan orang Padang Siontah. Karena lembah ini dikelilingi oleh gunung dan bukit, orang Limo puluh ini meneruskan perjalanan ke Utara untuk mencari tempat yang ketinggian yang bisa mereka naiki bersama untuk melihat dimana masing-masing yang akan dipancang untuk tempat mereka bermukim. Menurut Rooy (Amran, 1980 : 62 – 63), mereka smapai di sebuah bukit yang di atasnya rata. Dari sinilah mereka mengamati dan memandang kearah Utara, Timur dan Selatan untuk mencari daerah yang akan dipancang untuk dijadikan tempat pemukiman atau tempat menetap bagi anak keturunan mereka dikemudian hari.
Setelah memperhatikan dengan cermat, empat puluh sembilan dari Urang Tuo nan Limo Puluah tersebut meninggalkan Bukik Baanta secara berombongan dan berkelompok menuju ke berbagai tempat, seperti:
1.Tiga orang dan ditambah dengan seorang yang tetap di Bukik Baanta mendiami lembah nan Panjang yang disebut orang juga “Pasak Bosi Urang nan Limo Puluah”.
2.Sebelas orang berpencar menuju arah Utara dan Timur yang juga disebut Ronah Limo Puluah atau Pasak Timbago Urang nan Limo Puluah.
3.Delapan orang menuju ke Selatan yang disebut Urang Luhak atau Pasak Loyang Urang nan Limo Puluah.
4.Empat orang menuju kaki Gunung Sago atau Situjuah atau disebut Pasak Jalujua Urang nan Limo Puluah
5.Delapan orang menuju arah Timur atau Bukik Limbuku dan sekitarnya, disebut Urang Pasak Ruyuang Urang nan Limo Puluah.
6.Sepuluh orang lagi menuju kearah Timur kaki gunung Sago yang disebut Urang Baromban Bosa Urang nan Limo Puluah.
7.Sisanya lima orang lagi juga menuju ke Timur yaitu tepian Batang Kampar yang disebut Urang Limo Koto Kampar.

Wilayah dan Sistem Pemerintahan
1.Setelah masing-masing sampai ditempat yang dituju yaitu tempat yang mereka perkirakan baik untuk ditempati, pertama sekali yang mereka kerjakan ialah memancang wilayah yang akan dijadikan tempat pemukiman dan dapat berusaha untuk anak kemenakan mereka dikemudian hari.
2.Mereka membentuk pemerintahan menurut aturan yang dibawa dari dusun Tuo Pariangan Padang Panjang seperti:
a.Tiap-tiap Urang Tuo mengangkat seorang yang patut atau tepat untuk menjabat sebagai Mamak Kepala Waris dengan kewajiban memelihara Sako dan Pusako.
b.Mengangkat seorang yang bijak bestari yang dapat menghimpun pendapat yang tumbuh ditengah anak kemenakan dengan kedudukan sebagai Hulu Andiko.
c.Mengangkat seorang diantara keluarga terdekatnya yang dalam ilmu dan akhlaknya termulia untuk menjadi Imam, guru dan hakim didalam keluarganya. Kusuik nan kamanyalasai, karuah dan kamanjaniahkan.
3.Bahwa di Luak Limo Puluah Koto, ada tiga Balai tempat bertemu Urang Tuo nan Limo Puluah, dibalai inilah segala masalah yang tumbuh diantara Urang Tuo nan Limo Puluah dibicarakan dan diselesaikan menurut patutnya, yaitu:
a.Balai godang di Bukik Baanta, balai ini tempat memutus yang telah gantiang dan menabuk nan alah biang.
b.Balairung sari di Guguk, balai ini tempat mencari sebab-sebab yang menimbulkan masalah diantara Urang Tuo nan Limo Puluah, lalu dibawa ke Balai Godang di Bukik Baanta untuk ganting diputus dan biang akan ditabuak bersama
c.Balai Bonsu di Bangkinang, dibalai ini dibicarakan masalah yang timbul di rantau Urang nan Limo Puluah.
4.Masing-masing Balai tersebut dipimpin oleh:
a.Balai Godang, dipimpin oleh:
1)Datuak Suridano, urang Tuo Koto nan Tuo Bukik Baanta
2)Datuak Rajo Sutan Bagindo, Urang Tuo nan di Giring-Giring.
b.Balairung Sari di Guguk dipimpin oleh:
1)Datuk Rajo Pangulu, Urang Tuo di Guguk
2)Datuk Majo Mangkuto, Urang Tuo di Balai Mansiro
3)Datuk Malano Kotik, Urang Tuo di Simalanggang
c.Balai Bonsu di Bangkinang dipimpin oleh Datuak Bandaro Sati di Bangkinang serta Urang Tuo di kuok, Salo, Air Tiri dan Rambio.

Di Minangkabau, tiap Koto berdiri sendiri dalam segala hal dan yang menghubungkan antara satu Koto dengan Koto lainnya hanya kesatuan pokok yang dibawa dari Dusun Tuo Pariangan Padang Panjang. Stibbe (Amran, 1980:62). Penghulu yang di Luak Limo Puluah tidak diangkat dengan surat keputusan pemerintah, hanya dengan pusakonya (Amran, 1980:69)


SUMBANGSIH PERANG PADERI

Ekspedisi Kerajaan Singosari
1.Pada tahun 1235, oleh raja Kerajaan Singosari yang pada waktu diperintah oleh Kertanagara diperintahkan untuk menaklukkan Kerajaan Melayu di Jambi yang dikuasai oleh raja Mauliadarma Dewa. Raja Jambi ini melarikan diri ke hulu sungai Batang Hari, akhirnya sampai di Tanjung Bungo. Karena tanah ini sudah bagian dari Datuak Bandaro Kuniang dari Koto asli maka raja Jambi mohon perlindungan beliau. Oleh datuk Bandaro Kuning diizinkan dengan syarat Raja Jambi ini hanya bertempat tinggal saja dan tidak mengembangkan kekuasaannya serta mesti mematuhi aturan yang berlaku di Minangkabau
2.Pada abad XV masuklah agama Islam ke tanah Minangkabau melalui pantai Barat, kemudian pada abad XVII masuk lagi ajaran agama Islam yang dibawa Arraini melalui Masang dimana dalam satu ikrar Ulama Minangkabau di Masang tersebut pada akhir abad XVII bahwa dalam satu ikrar Ulama Minangkabau di masang tersebut pada akhir abad XVIII bahwa Minangkabau diberlakukan dasar pandangan hidup “Syarak mangato, Adat mamakai”. Tapi Raja Minangkabau tidak dapat menerima ikrar ini. Pada waktu Tuanku Lintau sudah kembali kekampungnya di Lintau, beliau mendapati ada dari keluarga raja Pagaruyung yaitu Tuanku nan Bakuni senang manyabung ayam dan juga berjudi. Kejadian ini tidak dapat diterima oleh Alim Ulama dan rakyat kecuali rakyat Tanjung Barulak, Saruaso dan Padang Ganting. Untuk menyelesaikan masalah ini, diadakan musyawarah antara Tuanku Lintau dengan keluarga Kerajaan, dalam musyawarah ini terjadi keributan antara keluarga Raja dengan alim ulama bahkan dari pihak keluarga raja banyak yang terbunuh. Raja beserta seorang cucunya Sutan Bagagarsyah dapat melarikan diri.
3.Pada tahun 1818 raja Pagaruyung yang dijabat oleh Sutan Bagagarsyah minta perlindungan ke Pemerintahan Inggris di Bengkulu. Pemerintah Inggris di bawah pimpinan Gubernur Raffles menolak. Pada tahun 1819 terjadilan pemindahan kekuasaan dari Inggris ke Pemerintahan Hindia Belanda dan sesuai dengan perjanjian London yaitu seluruh daerah kekuasaan VOC yang disebut Inggris dikembalikan kepada Belanda. Setelah perjanjian tersebut pada tanggal 10 February 1820 Pagaruyung, Sungai Tarab, Saruaso, Tanjung Barulak dan Padang Gantiang diserahkan ke pemerintahan Hindia Belanda oleh Raja Pagaruyung Sutan Bagagarsyah yang diterima oleh Residen De Puy.
4.Penyerahan beberapa daerah oleh Raja Pagaruyung ini oleh Belanda ditafsirkan bahwa seluruh tanah Minangkabau telah diserahkan ke tangan Belanda, namun rakyat Minangkabau tidak menerima ini, maka terjadilah perlawanan antara rakyat Minangkabau yang dipimpin oleh alim ulama yang disebut Perang Pidari
Dalam peperangan ini pihak Belanda banyak menderita kerugian, maka Belanda berusaha menjalin perdamaian dengan pimpinan Paderi di Bonjol dengan perantaraan seorang Belanda yang bernama Van den Berg yang ditanda tangani pada 22 January 1824 yang isinya terasa berat sebelah yang hanya menguntungkan pihak Belanda. (Amran, 1980:425). Pada bulan Maret 1824, terjadi lagi peperangan antara Belanda dan Paderi, puncak dari pertempuran ini terjadi pada bulan April 1824 di Magek, dalam pertempuran ini terbunuh Komandan merangkap Residen Sumatera Barat Kolonel De Raff, sedang di pihak Paderi terbunuh pula seorang pemimpin perang dari Luak Limo Puluah Tuanku Rajo dengan panggilan Tuanku nan Paik dari suku Jambak Koto Tuo Giring-Giring.
5.Dengan meninggalnya De Raff, pemerintah Belanda mengirim penggantinya Reiders de Stuers. Penggantinya ini tidak meneruskan politik perang dari pendahulunya. De Stuers mencari hubungan dengan Tuanku Lintau melalui seorang saudagar Arab yang bernama Said Al Jufri. Orang ini berhasil menghubungi Tuanku Lintau, Tuanku Dibawah Tabiang, Tuanku di Guguk, Tuanku nan Renceh dan Tuanku nan Saleh, masing-masing dari Lintau, Limo Puluah Koto, Agam dan Koto Laweh Padang Panjang. Pada tanggal 31 Oktober 1825, utusan sampai di Padang yang disambut langsung oleh De Stuers, pada tanggal 1 November 1825 di mulailah perundingan dengan hasil antara lain pada point 2 berbunyi: Pemerintah Belanda mengakui dan menghormati kekuasaan Paderi atas Lintau, Limo Puluah Koto, Agam dan Koto Laweh dan berjanji akan hidup damai. Perjanjian ini ditanda tangani pada tanggal 15 November 1825. dengan Surat Keputusan nomor 8 tanggal 24 Desember 1825 persetujuan itu disyahkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
6.De Stuers diganti pada tahun 1830 oleh Mac Gilafri seorang sipil dan pada 1831 digantikan oleh Letnan Kolonel Elout membawa misi dari Gubernur Jenderal Van Den Bosch, akhirnya ia menarik diri dari pemerintahan dan diganti oleh anaknya Jacob Elout pada 4 Maret 1831. Letkol Jacob Elout membawa misi dari Gubernur Jederal Van Den Bosch untuk melaksanakan Cultur Stelsel Elout membawa misi dari Gubernur Jenderal Van Den Bosch Sumatera Barat sangat cocok untuk tanaman yang dibutuhkan di pasar dunia. Sebagai kepala pemerintahan di Indonesia Van Den Bosch sangat antusias sekali untuk menguasai secepatnya daratan di Bovenlanden. Untuk melaksanakan maksudnya ini Belanda memperalat kelemahan yang ada didalam perjanjian Plakat Panjang II.
7.Pada tahun 1931 terjadi kembali perang besar secara serentak di seluruh Minangkabau melawan Belanda yang oleh Belanda disebut sebagai Pemberontakan (Amran, 1980 : 522) Pada 1832 Agam dan Limo Puluah Koto dapat diduduki oleh Belanda, dalam hal ini Belanda dibantu oleh Pasukan Melayu yaitu orang-orang binaan Belanda, menjadi mata-mata dan kaki tangan Belanda yang oleh Belanda disebut gerombolan Melayu yang kerjanya diwaktu perlawanan mereka lari pontang panting dan diwaktu lawan mundur mereka menyerbu untuk merampas harta lawan.

Setelah Limo Puluah Koto dan Agam diduduki pada tahun 1832, Letnan Kolonel Elout melanjutkan perangnya menuju Bonjol. Serangan Belanda ini disambut oleh rakyat dengan perlawanan gigih sekali sehingga Belanda banyak kehilangan tentaranya. Baik juga dikutip pikiran dari pengarang sebelumnya Elout ini seorang yang berpandangan luas, tapi sesudah terjadinya yang dinamakan pemberontakan 11 Januari 1835 itu dia jadi berubah, tindakan yang diambilnya terhadap rakyat dengan memperalat gerombolan Melayu dimana sebelumnya tidak disenanginya. (Amran, 1980:551). Bonjol diduduki dan dikuasai setelah Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan Dibuang pada tahun 1937.
Belanda meneruskan penaklukannya ke Rao dan Tambusai, Rao dapat diduduki dan peperangan di Tambusai yang dipimpin oleh Tuanku Saliah berakhir tahun 1845 setelah menghilangnya Tuanku Tambusai.


SARIAK LAWE DALAM PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA DI SUMATERA BARAT

Sistem Pemerintahan
Setelah semua perlawanan dari Paderi dikalahkan, sekarang tiba saatnya Pemerintah Belanda memikirkan langkah selanjutnya untuk mencapai tujuannya. Sebagaimana telah diterangkan pada Bab II point 6 diatas bahwa tujuan dari Pemerintah Belanda yang utama ialah bagaimana melaksanakan program Cultur Stelsel (tanam paksa) di Sumatera Barat, maka yang pertama dipikirkan adalah sistim pemerintahan. Untuk ini, Elout meneruskan rencana yang telah dimulai oleh pendahulunya seperti De Puy dan Rieder de Stuers dengan perbaikan disana sini sesuai dengan situasi pada waktu itu. Dalam pemerintahan Rieders de Stuers orang yang diangkat untuk menjalankan pemerintahan itu adalah orang-orang kepercayaan Belanda bekas gerombolan Melayu, De Roy (Amran, 1980:75)
Susunan Pemerintahan yang terbit tahun 1850 adalah sebagai berikut: Kegen, Laras, Penghulu Kepala atau Pangulu Suku, Penghulu Rodi dan Penghulu Kampung (Amran, 1980:75). Semua ini diangkat dan ditetapkan oleh pemerintah Belanda, begitu juga orang/pejabatnya adalah orang yang dipercaya. Jika sebelumnya orang-orang yang membantu Belanda ini tidak diangkat, sekarang menjadi kebalikannya, orang inilah yang diutamakan. Khusus untuk Luak Limo Puluah Koto, Belanda membentuk 10 Nagari yang diistimewakan, (Amran, 1980:465), yaitu :
1. Sariak Lawe
2. Guguk
3. Koto Lawe
4. Suliki
5. Mungka
6. Air Tabik
7. Taram
8. Sarilamak
9. Simalanggang
10. Kota Payakumbuh
Dalam pelaksanaan Cultur Stelsel, guna memudahkan penanaman kopi, maka oleh Belanda menggabungkan dua Koto Urang nan Limo Puluah yang menguasai tanah Ulayat yang akan ditanami kopi tersebut yaitu Koto nan Tuo Bukik Baanta dan Koto Tuo Giring-Giring. Adapun Nagari Sarik Lawe semasa Pemeirntahan Belanda waktu itu adalah di tanah ulayat Datuak Rajo Sutan Bagindo Urang Tuo nan Limo Puluah di Koto Tuo Giring-Giring yang dijadikan gudang penyimpanan barang (Vaak Huis) oleh Belanda, dimana pekerja dan rakyatnya didatangkan dari keluarga pembantu Belanda (Helpbedden), orang inilah yang kemudian berkembang menjadi anak kemenakan dan rakyat Sarik Lawe. Disini jelaslah bahwa nagari Sarik Lawe sekarang adalah warisan buatan belanda yang dilanjutkan oleh Orde lama dan Orde baru.
Adapun orang Melayu pengikut Belanda dibandingkan dengan orang Paderi, menurut Boelhouver: “…membandingkan dengan orang Paderi, Dulu bermusuhan sekarang berteman, tapi mereka berbeda sekali baik mengenai pakaian, kelakuan maupun kebiasaan. Sebagian asyik mengisap candu sedangkan yang lain melihat kebiasaan itu merasa jijik, sebagian sibuk berjudi dan berteriak-teriak sedang yang lain sungkan mengerjakanya. Suatu pandangan yang mengasyikkan juga melihat orang Paderi yang kekar dan berotot jika dibandingkan dengan pasukan-pasukan pembantu kita. (Amran, 1980 : 540)

Penyempurnaan Pemerintahan
Dengan telah ditaklukkannya seluruh tanah Minangkabau oleh Belanda, Bovenlandn (Amran, 1980 : 75), pemerintahan di Minangkabau dibentuk oleh Residen Komandan Jacob Elout yang berpedoman kepada keputusan Gubernur Jenderal nomor 18 tanggal 4 November 1823 dan juga disesuaikan disana sini sesuai situasi setempat dalam hal ini termasuk pejabat-pejabatnya seperti telah disebutkan diatas bahwa jika dahulu orang gerombolan Melayu yang membantu Belanda tidak diikutkan dalam pemerintahan, sekarang mereka malah menjadi pokok. (Amran, 1980 : 527)

Sariak Lawe dibentuk
Tugas orang yang diangkat menjadi Pangulu suku, Pangulu Rodi ini adalah untuk menjalankan perintah-perintah Belanda demi kelancaran tanam paksa (Cultur Stelsel) serta memungut blasting dan melindungi perdagangan Belanda. Di Sariak Lawe, orang-orang ini selain menjalankan tugas pokoknya juga merampas harta penduduk asli seperti sawah, kebun dan ternak.

Panghulu suku yang diangkat Belanda di Sariak Lawe adalah:
1. Datuk Rajo Junjungan
2. Datuk Indo Marajo
3. Datuk Majo Bosar
4. Datuk Simarajo nan Kayo
Sedang Pangulu Rodi yang diangkat Belanda adalah:
1. Datuk Damuanso
2. Datuk Tumbiro Dirajo
3. Datuk Parapatiah
4. Datuk Tunaro nan Basudu Omeh
Pucuak adat adalah Datuak Bandaro Nan Babaju Omeh.

Tuanku Dibawah Tobiang
Tuanku Dibawah Tobiang sebagaimana dalam tulisan sumbangsih perang padri diatas (point 5), adalah kaum Datuk Suridano, suku Melayu, di Koto nan Tuo Bukik Baanta. Beliau ini mempunyai empat saudara, dua laki-laki dan dua perempuan. Laki-laki pertama atau yang tua bernama si Antau gelar Datuk Suridano dan yang kedua bernama si Kaji gelar Tuanku Bagindo. Karena mendirikan Surau dibawah Tabing maka oleh kawan-kawan beliau diberi julukan Tuanku Dibawah Tobiang.
Beliau ini pernah mengaji sampai ke masang sama Tuanku Lintau.
Adapun dua saudara beliau yang perempuan, yang tua bernama si Kanan dan yang muda bernama si Begok. Yang tua tidak melahirkan anak laki-laki dan yang muda melahirkan dua anak laki-laki. Untuk seterusnya H. Mansyur Arifin glr Angku Bagindo sebagai penulis insya Allah dalam Bab lain akan dapat menjelaskan bahwa masih merupakan keturunan generasi ke-4 setelah Tuanku Dibawah Tobiang. Keturunan asli yang dapat bertahan hidup dan tetap menunjung tinggi adat lamo pusako usang serta sesuai dengan semangat kemerdekaan yang tertuang dalam UUD 45 yang berarti masih berhak untuk menguasai ulayat yang telah digariskan secara turun menurun.
Sebagai kesimpulan, jelaskan bahwa sangatlah jauh perebedaan antara Sariak Lawe yang dibentuk Belanda tahun 1850-an dengan kedua Koto Tuo nan Limo Puluah yang sebenarnya, dimana sebelum Belanda datang sebenarnya telah ada kesatuan adat dengan susunan yang jauh berbeda pula, orang Sariak Lawe sekarang memakai Pucuak Adat dan IV suku, mereka memakai “Adat bajanjang naik batanggo turun” (adat Koto Piliang) sedangkan urang nan Limo Puluah hanya punya Hulu Andiko serta memakai “duduak nan bahamparan, tagak nan saedaran” (adat Bodi Chaniago)

Tari Balanse Madan (Tugas Sejarah)

A. Asal-Usul Tari Balanse Madam
Tari Balanse Madam sebuah tari tradisional yang terdapat di Seberang Palinggam Kota Padang, yang menjadi milik dan warisan budaya masyarakat Suku Nias Kota Padang. Tari Balanse Madam merupakan sebuah kesenian tari yang berupa peninggalan budaya lama yang telah ditransmisikan secara turun temurun dalam masyarakat suku Nias di Seberang Palinggam.

Sejarah keberadaan Tari Balanse Madam tidak terlepas dari kehadiran bangsa Portugis di pantai barat pulau Sumatera pada abad ke enam belas. Kedatangan bangsa Portugis ke Kota Padang telah membawa dampak terhadap tumbuhnya kesenian di Padang waktu itu, diantaranya tari Balanse Madam dan Musik Gamad. Nosafirman (1998: 2) menjelaskan seabad sebelum tanggal 7 Agustus tahun 1669, Padang hanya berupa perkampungan tradisional yang terletak di pinggiran pantai Sumatera bagian barat, yang kalah ramai dibanding Tiku dan Pariaman. Namun kampung ini mulai ramai sejak orang-orang Portugis dan Aceh berdatangan untuk berdagang ke Kota Padang pada masa itu.

Menilik kehadiran bangsa Portugis ke Padang sebagai pedagang, maka bersamaan itu pula berdatangan penduduk imigran dari pulau Nias untuk bekerja sebagai buruh atau pembantu di pelabuhan bagi bangsa Portugis. Kedatangan orang Nias dibawa oleh para pedagang China yang datang ke Sumatera Barat dari pulau Nias pada awal abad ke-16. Mereka ditempatkan di berbagai daerah antara lain di Padang (terutama di daerah Muara), di daerah Pariaman dan Pasar Usang dan sebagian lain di daerah Muara Sakai Pesisir Selatan. Akan tetapi dari jumlah keseluruhan orang Nias tersebut lebih banyak ditempatkan di Padang. (Nosafirman, 1998: 22)

Dengan dipekerjakannya orang-orang Nias yang berada di Padang oleh Portugis, maka terjadilah relasi sosial budaya antara kedua suku bangsa tersebut, sehingga menularkan suatu bentuk kesenian yakni tari Balanse Madam. Awal lahirnya Tari Balanse Madam adalah akibat seringnya terjadi kontak (hubungan) sosial antara bangsa Portugis sebagai majikan dengan orang Nias sebagai bawahan atau pekerja.

Setiap pesta yang dilakukan oleh bangsa Portugis baik di kapal ataupun di daratan selalu diperkenalkan tarian yang berbentuk tari pergaulan seperti dansa kepada orang-orang Nias. Bangsa Portugis bukan saja menyebarkan pengaruhnya sebagai pedagang tetapi juga dalam hal kesenian. Baik tari ataupun musik selalu mereka sebarkan atau tularkan pengaruhnya di Kota Padang. Yang terdekat pada waktu itu dengan komunitas Portugis adalah orang-orang Nias yang bekerja sebagai pembantu, baik pada keluarga Portugis maupun dalam kelancaran usaha perdagangannya dan sebagai buruh.

Fenomena yang terjadi pada waktu itu adalah seringnya orang Nias menyaksikan pertunjukan kesenian baik tari maupun musik yang disajikan oleh bangsa Portugis, maka lama kelamaan orang Nias mulai mempelajari dan mengembangkannya melalui suatu proses adaptasi dan adopsi dengan proses transformasi imajiner.

Melalui transformasi imajiner, para seniman atau masyarakat Nias yang memiliki kemampuan rasa estetis dan jiwa seni, mulai mengembangkan pola-pola gerak tari pergaulan yang dilakukan oleh bangsa Portugis tersebut. Pola-pola gerak tersebut, seperti pola gerak tari Dansa. Kemampuan mentransformasi dan mengadaptasi dari pola-pola Dansa ke dalam bentuk tari baru tidaklah begitu sulit bagi masyarakat Nias, hal ini disebabkan tarian yang bersifat sosial dan dalam disain yang seperti berpasang-pasangan dalam disain lantai yang melingkar.

Proses adaptasi dan transformasi imajiner ini disebabkan adanya rangsangan kinetetis, yang dirasakan oleh masyarakat Nias. Secara realitas bangsa Portugis tidak mengajarkan tarian dansa kepada masyarakat Nias, atau orang Nias secara individu, akan tetapi mereka hanya memberikan suatu pembelajaran dengan jalan memberikan suatu kesempatan kepada masyarakat Nias untuk dapat menyaksikan peristiwa pesta Dansa dalam ruang lingkup komunitas bangsa Portugis tersebut.

Fenomena inilah yang berkembang diantara kedua suku bangsa tersebut. Relasi-relasi sosial seperti ini, lama kelamaan menjadi suatu peniruan oleh masyarakat Nias. Pola-pola sosial atau pergaulan bangsa Portugis yang sering menggelar pesta Dansa, secara budaya tidak bersebarangan dengan kepercayaan dan budaya masyarakat Nias pada masa itu.

Kebiasaan-kebiasan bangsa Portugis tersebut menjadi obsesi pula bagi masyarakat Nias yang bermimigrasi ke Kota Padang. Bagaimanapun mereka perlu suatu ajang untuk menjalin relasi antar mereka agar silaturahmi diantara mereka sebagai pendatang (perantau) di Kota Padang, dapat terjalin dalam ikatan yang kuat, agar rasa senasib sepenanggungan sebagai orang perantauan dapat dirasakan secara bersama-sama.

Atas dasar kreativitas, lahirlah tari Balanse Madam yang merupakan adaptasi dari tarian Dansa bangsa Portugis. Pola-pola gerak yang dikreasikan tidak sama sekali berakar pada gerak Dansa, akan tetapi yang disadur adalah pola-pola gerak tari dan disain lantai serta suasana dan fungsi dari tarian dansa tersebut.

Konsep gerak berakar sepenuhnya pada dasar gerak tari tradisi yang dibawa dari kampung halaman orang Nias, seperti Maena dan Hiwõ. Kemudian dikombinasikan dengan gerakan tarian Melayu. Karena pada masa itu tarian Melayu juga sedang berkembang di tengah bangsawan perkotaan atau Bandar di pulau Sumatera.

Semenjak itu, mulailah tari Balanse Madam diperkenalkan dari satu komunitas suku ke suku yang lain. Atau dari Marga yang satu ke Marga yang lain dalam setiap peristiwa adat dan pertemuan antar warga Nias keturunan di Kota Padang. Tarian pertama yang disajikan belum begitu sempurna, karena lebih bersifat spontan. Masalah ini disebabkan karena masing-masing suku atau marga memiliki keinginan dan gaya masing-masing dalam menarikan. Sudah barang tentu antara Marga Gulõ dengan Zebua kurang bersesuaian dalam gaya menarikan. Ketidaksamaan dalam gaya menari ini menjadi sorotan dan perbincangan dalam rapat antar Marga dan Suku masyarakat Nias se Kota Padang.

Melalui rapat atau musyawarah antar Marga dalam masyarakat Nias yang ada di Padang pada pertengahan abad ke-16, maka disusun kembali struktur tari Balanse Madam dan segala tata cara menarikannya maupun tentang syarat-syarat yang diperlukan dalam menyajikan tari Balanse Madam. Kesepakatan melahirkan suatu keputusan bahwa tari Balanse Madam diakui sebagai sebuah tari tradisional masyarakat Nias yang telah menetap di Kota Padang, dan kemudian pada gilirannya menjadi warisan budaya yang perlu dilestarikan dan diwariskan turun temurun dalam lingkup masyarakat Nias. Secara tidak langsung juga menjadi fokus budaya bagi masyarakat Nias.

Awal pertumbuhan dan penyebaran tari Balanse Madam bermula di daerah Seberang Palinggam dan Kampung Nias. Berbicara tentang tari Balanse Madam berarti juga berbicara tentang daerah Seberang Palinggam. Daerah Seberang Palinggam merupakan kawasan mayoritas suku Nias di Kota Padang, yang merupakan daerah asal pendaratan masyarakat Nias di Kota Padang dari kepulauan Nias. Hal ini dimungkinkan karena daerah Seberang Palinggam merupakan kawasan yang berada dalam wilayah pinggiran sungai Batang Arau.

Sebagai sebuah tari tradisi, tari Balanse Madam sangat dekat dengan komunitasnya. Kata Balanse yang berarti harmonis dan Madam diambil dari istilah dalam tari Balanse yang berarti nyonya. la merupakan milik dari komunitas suku Nias yang berada di Seberang Palinggam. Tari Balanse Madam adalah salah satu contoh dari manifestasi perilaku masyarakat suku Nias Kota Padang. Kehadiran dan kelangsungan tari Balanse Madam menjadi tanggung jawab masyarakatnya, karena ia merupakan sebuah warisan tradisi yang harus dipelihara.

Selanjutnya Syarif menjelaskan (1990: 8), tari tradisional dapat diartikan sebagai: (1) kesenian yang diselenggarakan demi kelang¬sungan sebuah tradisi yang berlaku dalam suatu masyarakat dalam artian adat istiadat, (2) tari tradisional dapat diarahkan sebagai sebuah kesenian yang memiliki norma (etika) dan nilai-nilai yang merefleksikan corak kehidupan masyarakat pendukungnya. Tari tradisional juga selalu terikat akan falsafah maupun norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat pendukungnya, seperti halnya dengan tari Balanse Madam yang merupakan jenis tari tradisional masyarakat suku Nias yang telah lama mendiami Kota Padang tepatnya di daerah Seberang Palinggam.

Sebagai tari tradisi ia akan selalu merujuk pada kehendak dan konvensi-konvensi yang diinginkan oleh masyarakat pendukung dari tari tersebut. Keberadaannya tidak terlepas dari campur tangan berbagai pihak, sehingga ia dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat yang melingkupinya.

Tari tradisional pada umumnya tidak dapat diketahui dengan pasti siapa penciptanya, karena tari tradisionai bukan merupakan hasil cipta dari kreativitas yang lahir oleh seorang individu, akan tetapi ia tercipta secara bersama dengan pemikiran kolektif dari masyarakat pendukung dimana tarian tersebut tumbuh dan berkembang (Kayam, 1981: 60).

Karena tari tradisi merupakan sebuah ungkapan atau ekspresi yang berbentuk kesenian dari masyarakat dalam persembahannya baik lewat gerak, kostum dan musik, selalu menggambarkan ciri khas dari budaya masyarakat yang memiliki keberadaan tari tersebut. Tari tradis baik dari kehendak, pemikiran (ide) maupun rasa (emosi) keseluruhannya bermuara pada perilaku masyarakat pendukungnya.

Soedarsono (1986: 83) menjelaskan tari tradisi adalah merupakan ekspresi jiwa manusia secara komunal yang dituangkan lewat gerak yang ritmis dan indah. Jiwa manusia tersebut terdiri dari aspek kehendak, akal (pikiran) dan emosi atau rasa, bertitik tolak dari ciri tersebut Tari Balanse Madam dikatakan tari tradisi orang Nias di Kota Padang. Tari Balanse Madam memiliki empat dasar gerak yaitu sewai, salam, step (langkah) dan lenggang. Sedangkan kostum yang dipergunakan adalah kostum yang bercorak Melayu, dengan tidak ditentukan jenis warnanya. Musik yang mengiringi tari Balanse Madam adalah jenis musik Mars.

Tari tradisi seperti tari Balanse Madam merupakan bagian dari kehidupan komunitas suku Nias secara kolektif. Karakter dari masyarakat suku Nias dan corak kehidupannya direfleksikan lewat penyajian tari Balanse Madam. Bentuk penyajiannya bersifat simbolis. Geraknya sangat dinamis dengan pola lantai lingkaran sehingga terjadinya komunikasi antar sektor-sektor penari.

Tawanto Karim menjelaskan tari Balanse Madam berbentuk tari pergaulan, dalam artian tarian yang bersifat sosial. Jumlah penarinya delapan orang yang terdiri dari empat orang wanita dan empat orang pria. Posisi penari saling berhadapan antara pasangan yang satu dengan pasangan yang lain, dengan kedudukan (keberadaan) penari pada posisi Utara menghadap Selatan dan posisi Timur menghadap (berhadapan) dengan posisi Barat.

Tari Balanse Madam dalam pertunjukannya sering ditampilkan pada berbagai acara pesta perkawinan, pengangkatan penghulu (tetua adat) dan acara adat lainnya. Musik dari tari Balanse Madam terdiri dari seperangkat perkusi seperti tambur, set drum dan simbal. Musik pengiring lainnya adalah biola, akordion dan alat tiup.

Secara keseluruhan tari Balanse Madam diiringi oleh orkes musik Musik Gamad, karena Musik Gamad merupakan bentuk kesenian musik yang dimiliki oleh masyarakat suku Nias di Seberang Palinggam Kota Padang yang kehadiranya bersamaan dengan munculnya tari Balanse Madam dalam masyarakat Nias.

Tari Balanse Madam ditampilkan dapat dilakukan siang hari maupun malam hari. Hal ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan kegiatannya. Dalam arti kata tarian ini dapat ditampiikan pada ruangan terbuka ataupun tertutup. Tari Balanse Madam ditarikan oleh orang-orang yang telah berkeluarga. Setiap penari harus jelas apakah ia seorang suami atau isteri. Jadi tarian tradisional Balanse Madam bukanlah tarian yang ditarikan oleh semua orang, ini aturan yang telah ditetapkan dalam rapat antar suku atau Marga pada pertengahan abad ke-16.

Setelah proses penetapan tarian Balanse Madam sebagai tari tradisi masyarakat Nias, yang telah diatur dengan gaya, dan tata cara yang seragam. Sejalan dengan itu pula masyarakat Padang yang bersuku Minangkabau melalui Sutan Padang mengakui keberadaan tarian ini sebagai tarian Padang dari komunitas Suku Nias. Mulailah masyarakat Padang semenjak era tersebut memiliki warisan baru yaitu tari Balanse Madam.

Awal pertumbuhan tari Balanse Madam menurut Tawanti dan Utiah, tidak terjadi konflik yang berarti antara orang Nias dan Minangkabau maupun China dan orang Keling. Karena ke-empat suku inilah pada abad ke -16 yang menjadi penduduk kota Padang. Kenyataan ini disebabkan, karena dari segi struktur gerak, struktur penyajian dan tata cara penyajian maupun kostum dan musik pengiring, sama sekali tidak bertentangan dengan budaya suku-suku lain yang ada di Kota Padang pada masa itu. Memang ada pada awalnya sebelum menari Kepala Suku dan pemusik disuguhi minuman keras yang mengandung alkohol, akan tetapi setelah ditetapkan sebagai tarian adat, minuman keras diganti dengan yang tidak mengandung alkohol.

Pada awal pertumbuhan tari Balanse Madam, masyarakat di luar suku Nias tidak diperkenankan untuk menarikan, hanya baru sebagai menyaksikan saja. Apalagi masa itu kawin campur belum terjadi, atau perkawinan lintas suku belum terjadi di tengah-tengah masyarakat Nias. Kenyataan ini yang menyebabkan belum boleh dipelajari oleh suku lain.

Tari Balanse Madam bukan berasal dari Kepulauan Nias sebagai tanah leluhur, dia disebabkan oleh Diaspora suku Nias. Kalaupun dicari di tanah leluhur, tari Balanse Madam tidak mungkin dapat ditemukan. Tari Balanse Madam hanya dapat ditemukan dalam masyarakat Nias yang bermigrasi ke Kota Padang dari abad ke-16 saja. Masyarakat inilah yang menjadi pemilik sah tari Balanse Madam, dan mewariskannya secara turun temurun hingga sekarang ini abad ke 29 atau era teknologi dan globalisasi.

Kitapun tidak akan menemukan tari Balanse Madam pada orang imigrasi Nias yang bukan keturunan orang orang Nias abad ke-16 dulu. Karena tari Balanse Madam merupakan identitas dan fokus budaya bagi suku Nias keturunan abad ke-16 yang telah diakui sebagai orang Padang, yang telah memiliki tanah pusaka di seputar Gunung Padang atau Bukit Lantiak dan Mata Air.

Semula asal nama Balanse Madam tidak ada yang pasti tahu, namun yang jelas tari Balanse Madam memiliki perintah dalam bergerak dengan sebutan Balanse Madam, sejak itu tarian ini dipanggil oleh masyarakat tari Balanse Madam. Seperti sudah dijelaskan juga sebelumnya arti Balanse “harmonis” dan Madam adalah “nyonya”. Ada juga kalangan masyarakat mengatakan tari Balanse Madam adalah tarian keharmonisan hubungan rumah tangga.

Bagian lain dari masyarakat pada masa lalu menamakan juga tarian Balanse Madam dengan istilah Kodril, Countril atau Quatril. Sebab itu tidak dapat dipastikan sejak kapan dipanggil tarian ini dengan sebutan Balanse Madam.

Disisi lain awal pertumbuhan tari Balanse Madam juga disebabkan adanya rumah-rumah Bola yang didirikan oleh Belanda di daerah Muara Padang. Kehadiran rumah-rumah cukup berarti dalam pemunculan tari Balanse Madam pada awal abad ke-16, sampai pada akhir abad ke-16. walaupun sebenarnya tarian ini pada akhirnya menjadi tarian adat orang-orang Nias Kota Padang.

B. Pertumbuhan Tari Balanse Madam Abad Ke-16
Tari Balanse Madam setelah menjadi kesenian tradisi orang Nias Padang. Maka kemudian diaturlah tari Balanse Madam menurut adat istiadat yang berlaku dalam suku Nias di Padang. Menghindari hal - hal yang tidak diingini karena ada beberapa hal yang tabu bagi orang Nias sendiri maupun bagi tetangga mereka (orang Minang) yang merupakan orang pribumi di Kota Padang, dimana ketabuan tari Balanse Madam disebabkan oleh karena tarian tersebut bercorak pergaulan antara pria dan wanita dalam bentuk berpasang-pasangan. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Nias yang mana pada giilrannya tari tersebut disusun sesuai dengan adat istiadat orang Nias Kota Padang, dengan ketentuan sebagai berikut: setiap penari pria dan wanita haruslah yang sudah menikah, tidak ada hubungan keluarga antara penari pria dan wanita, setiap gerakan persentuhan tangan tidak diizinkan dan harus dilapisi dengan secarik saputangan, sebelum penampilannya, penari pria dan wanita harus minta izin kepada suami atau isteri maupun kepada pemimpin adat. Sehingga saat ini, tarian yang bersifat tradisi ini masih dipertahankan.

Tarian Balanse Madam terdiri dari berbagai bentuk gerak perpaduan antara gerak Melayu dan Minang serta gerak tari tradisional dari pulau Nias seperti tari Maena, Hiwõ dan Molaya yang dibawa oleh orang Nias hijrah ke Kota Padang. Sedangkan dalam struktur penyajiannya tari Balanse Madam diawali dengan empat orang penari laki-laki yang kemudian melakukan gerak pencak, setelah gerak pencak dilakukan kemudian mereka bergerak menjemput penari wanita. Setelah penari pria dan wanita berada di panggung (arena) yang sebelumnya telah melalui proses perizinan dari tetua adat, selanjutnya komander memerintahkan tarian segera dimulai, dan pemusikpun bersiap sedia untuk mengiringi tarian. Komander juga bertindak sebagai pengendali tarian hingga menentukan kapan tarian harus diselesaikan.

Dalam sajiannya tari ini ditarikan oleh delapan orang penari, yang terdiri dari empat orang penari pria dan wanita (yang diajak oleh penari pria). Tarian berlangsung dengan arahan komander di luar arena yang menempati posisi dekat anggota pemusik. Setiap gerakan atau ragam gerakan penari selalu harus mengikuti komando (arahan) dari seorang komander, tugas penari hanya menjalankan tugas atas instruksi Komander.

Pola gerak yang dilakukan adalah berbentuk pola pergaulan, dimana terdapatnya suatu komunikasi gerak yang responsif dengan dukungan ekspresi di antara masing-masing pasangan penari. Dalam bentuk disain lantai yang melingkar dan empat persegi. Geraknya selalu mengandung nuansa keakraban dan pergaulan. Masing-masing pasangan menari dengan pasangannya, kemudian sesuai komando dari komander mereka dapat bertukar pasangan baik ke depan maupun ke samping. Pada dasarnya tari Balanse Madam berfungsi sebagai tontonan hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Dalam konteks waktu dan event, tarian ini dapat disajikan dalam upacara adat, pesta perkawinan, dan berbagai pesta adat.

Kehadiran tari Balanse Madam pada masa lalu (abad ke-16) merupakan hal yang sangat signifikan bagi kalangan suku Nias di Seberang Palinggam. Berbagai pesta yang digelar terasa hambar dan kurang semarak tanpa kehadiran dari pertunjukan tari Balanse Madam. Daya tarik tari Balanse Madam sangat berarti bagi masyarakat suku Nias di Kota Padang, terutama untuk mengisi acara hiburan pada pesta perkawinan.

Bagi suku Nias di Kota Padang pada masa lalu, kehadiran Tari Balanse Madam pada setiap pesta perkawinan, dapat memberikan suatu gambaran bahwa yang sedang punya hajat adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam material. Secara tidak langsung biaya yang dikeluarkan untuk pesta lumayan besar.

Bertitik tolak dengan konteks material, Darwis Loyang menjelaskan bahwa dalam setiap pesta perkawinan yang diiaksanakan oleh anggota masyarakat suku Nias di Kota Padang selalu ditampilkan tari Balanse Madam bagi yang mampu dalam melaksanakannya. Hal ini dikarenakan oleh faktor finansial yang besar. Apalagi yang punya hajat harus mendatangkan para tetua adat, kelompok pemusik (orkes Musik Gamad) dengan segala fasilitasnya, belum lagi mengundang banyak kerabat dan warga kampung sekitar.

Tari Balanse Madam merupakan bentuk tarian yang bersifat hiburan dengan memiliki keunikan dalam personaliti, struktur penyajian, etika bergerak (menari) maupun simbol-simbol gerakan yang disajikan. Keunikan dari personaliti adalah seluruh penari baik laki-laki ataupun wanita harus berasal dari orang-orang yang sudah berkeluarga atau yang sedang menjalankan proses kehidupan rumah tangga. Dengan arti kata sedang memiliki status suami atau isteri. Tidak ada status janda atau duda maupun bujang dan gadis sebagai penari Balanse Madam pada masa pertumbuhan tarian ini abad ke-16.

Menilik dari sudut pandang struktur penyajian, tari Balanse Madam dimulai atau diawali oleh penghormatan penari laki-laki dengan gerak pencak kepada tetua adat, yang sebelumnya penari tersebut sudah minta izin kepada isteri masing-masing untuk menari. Kemudian tarian baru dapat dimulai apabila penari laki-laki meminta izin kepada tetua adat untuk mengajak penari wanita yang berstatus sebagai isteri orang lain. Seterusnya, tetua adat memerintahkan pada suami penari wanita tersebut, mengizinkan isterinya untuk menari, barulah dikatakan tari dapat dimulai. Selanjutnya penyajian tari diserahkan oleh tetua adat kepada seorang Komander (pemimpin atau penuntun tarian).

Dari sudut pandang etika menari (bergerak) tidak dibenarkan penari pria menyentuh tangan (telapak tangan) penari wanita secara langsung. Akan tetapi sebagai gantinya, untuk menghindari kontak langsung maka penari wanita melapisi telapak tangannya dengan secarik sapu tangan.

Sebelum terbentuknya tari Balanse Madam, kesenian masyarakat Nias di Kota Padang adalah unsur kesenian yang mereka bawa merantau ke Kota Padang. Dari tanah leluhurnya seperti Hiwo, Maena dan Molaya, yang tidak semua suku atau Marga yang dapat menarikan atau memainkan.

Kesenian yang dimiliki oleh orang Nias di Padang pada awal abad ke-16, tatkala kedatangan pertamanya, makin lama agak menyusut dari aktivitasnya. Pada pertengahan abad ke-16 terbentuklah kesenian Balanse Madam dan Musik Gamad.

Kesenian yang berasal dari kepualaun Nias terutama yang terkait dengan tari Balanse Madam seperti Hiwõ, Molaya, Maena dan Musik Gamad.

1. Kesenian Maena
Kesenian Maena merupakan salah satu kesenian masyarakat Nias di Kota Padang yang berasaI dari Pulau Nias. Kesenian ini merupakan kesenian tari-tarian yang diiringi oleh nyanyian yang dinyanyikan juga oleh penari. Para pemainnya terdiri dari pria dan wanita dengan gerakan yang mencerminkan kegembiraan.

Kesenian ini biasanya dimainkan pada saat pesta-pesta perkawinan. Dalam pesta perkawinan waktu dulu, di waktu mempelai pria datang ke tempat mempelai wanita, maka kesenian ini lebih dulu dimainkan oleh rombongan mempelai pria untuk memuja-muji mempelai wanita dan keluarganya, selanjutnya kesenian ini juga dimainkan oleh rombongan mempelai wanita memuja-muji mempelai pria dan keluarganya. Sedangkan bila dilaksanakan pada upacara pengangkatan penghulu, syairnyapun berisi puji-pujian terhadap penghulu yang diangkat tersebut. Pada waktu dulu kesenian ini biasanya disertai dengan kesenian Folau Hiwõ (kesenian hiburan) maupun Mamaheu Omo (kesenian dalam meruntuhkan rumah).

Pada saat sekarang, gerakan Maena ini boleh dikatakan sudah bebas dalam arti para penari boleh menciptakan gerakan tersendiri maupun syair lagunya, dan boleh dilakukan oleh kelompok pria atau wanita saja. Syair yang dinyanyikan juga tergantung pada situasi atau acara yang diikuti. Misalnya pada acara perkawinan syairnya berisi puji-pujian terhadap mempelai atau keluarganya, kalau untuk acara kerohanian maka syairnya juga berisikan tentang kerohanian dan sebagainya. Hingga pada saat ini kesenian Maena ini agak jarang dilakukan.

2. Folau Hiwõ (Hiburan)
Kesenian ini merupakan kesenian hiburan dan biasanya dilaksanakan pada acara-acara pernikahan. Kesenian ini dilakukan oleh beberapa orang laki-laki dengan saling berpegangan tangan namun tidak melingkar. Kemudian, gerakan yang dilakukan seperti gerakan ular dan mengelilingi rumah tempat pesta dilaksanakan. Sambil bergerak, mereka juga bernyanyi membawa cerita baik tentang pernikahan maupun pujian terhadap masing¬-masing mempelai dengan keluarganya.

Bila gerakan mereka tidak bisa memutari rumah, maka gerakannya cukup di halaman saja. Pada saat ini kegiatan inipun sudah jarang dilaksanakan karena di samping tidak ada yang mengajarkan, juga mereka tidak berkeinginan untuk melaksanakannya.

Kesenian Hiwo merupakan sumber garapan bagi tari Balanse Madam, hal ini terlihat seperti pola lantai lingkaran yang ada pada tari Balanse Madam, gerakan berpegangan tangan dan kedua unsur kesenian ini sama¬-sama ditampilkan dalam acara pernikahan (pesta perkawinan).

Seperti yang telah dikemukakan pada bagian awal bahwa kesenian Balanse Madam ini merupakan kesenian yang dipengaruhi oleh kesenian bangsa Portugis yang pernah datang ke Kota Padang dan dikembangkan oleh masyarakat suku Nias pada pertengahan abad ke-16. Hingga saat ini kesenian Balanse hanya dapat dipertunjukkan oleh masyarakat suku Nias saja dalam konteks tradisi (warisan budaya).

Menurut Bapak Tawanto Lawõlõ ada beberapa faktor penyebab kesenian ini dapat diterima oleh masyarakat Nias pada waktu itu, antara lain: (1) pada saat itu orang Nias banyak yang menjadi pembantu pribadi orang-orang Portugis tersebut sehingga sering menyaksikan kesenian ini dimainkan, (2) banyak orang Nias yang menganut agama yang dibawa oleh orang Portugis tersebut (yakni agama Kristen) sehingga hubungan keduanya semakin dekat, dan (3) gerakan tari Balanse Madam ini ada kemiripan dengan gerakan kesenian yang ada pada masyarakat Nias itu sendiri yakni kesenian Maena, Hiwo dan Molaya, sehingga lebih mudah dalam mempelajarinya.

Dengan berbagai alasan atau penyebab di atas, akhirnya tarian Balanse Madam dapat diterima oleh orang Nias di Seberang Palinggam. Pada gilirannya tarian ini disuburkan dan ditumbuhkembangkan dalam masyarakat Nias di Seberang Palinggam. Untuk menguatkan keberadaannya maka tarian ini pada pertengahan abad ke-16 dikokohkan sebagai tarian adat (tradisi warisan budaya) orang Nias di Seberang Palinggam.

Tari Balanse Madam berkembang pada pertengahan abad ke-16. hampir seluruh kelompok kesatuan Marga dan suku di berbagai pelosok Kota Padang dapat menarikan tari Balanse Madam. Mulai dari kelompok komunitas di Seberang Palinggam, Komunitas Simpang Enam, Kampung Nias sekarang dan Komunitas Tabing. Menyebarnya tari Balanse Madam ini seiring dengan menyebarnya kedudukan atau tempat tinggal orang-orang Nias yang ada di Padang.

Kehadiran tari Balanse Madam diperlukan ketika pertengahan abad ke-16 tersebut, salah satunya untuk meredam konflik antar suku. Karena konflik antar suku ini pada awalnya sering terjadi dikarenakan egosentris dari masing-masing suku atau Marga. Masing-masing marga atau suku selalu saja memaksakan aturan suku atau marganya yang harus digunakan dalam pergaulan atau kehidupan sosial sehari-hari. Hal hasil sering terjadi konflik antar suku.

Menurut Siciak Gadiang-gadiang, salah satu solusi untuk meredam konflik antar suku adalah tari Balanse Madam, karena tarian inilah yang tidak dimiliki oleh orang Nias di Kepulauan Nias. Sebagai pemersatu diantara mereka dibentuklah unsur budaya baru, yang dapat melunturkan egoisme marga atau suku mereka. Karena Kepulauan Nias terdiri dari dua kawasan besar yaitu Kepulauan Utara dan Selatan. Adat istiadat dan budaya diantara wilayah tersebut juga memiliki perbedaan dan persamaan. Dari sinilah muncul ego-ego tersebut, yang pada gilirannya memunculkan konflik.

Hadirnya tari Balanse Madam yang menjadi ikon atau simbol baru, yang dibuat secara bersama-sama, sudah barang tentu meleburkan adat dan budaya mereka dalam satu ikatan yaitu tari Balanse Madam. Oleh sebab itu pertengahan abad ke-16 tarian ini dengan berbagai rintangan dan persoalan antar suku secara bersama-sama oleh masyarakat Nias digalakkan. Apalagi kehadiran tarian ini sudah mendapat persetujuan oleh Sutan Padang di Alang Laweh sebagai tari tradisi Padang dari kalangan masyarakat suku Nias.

Disisi lain, digalakkannya tari Balanse Madam pertengahan abad ke-16 adalah untuk memunculkan identitas mereka sebagai orang Nias yang telah menjadi masyarakat Padang. Karena ikrar mereka sebagian besar tidak akan kembali lagi ke tanah leluhur. Kelak sebagai pertanda mana orang Nias Padang dan orang Nias yang datang pada masa datang adalah terletak pada adat istiadat dan budayanya, yaitu salah satunya tari Balanse Madam.

C. Masyarakat Pendukung Tari Balanse Madam
Secara tradisi Tari Balanse Madam merupakan warisan budaya orang Nias yang ada di Seberang Palinggam dan Kota Padang umumnya. Oleh karenanya, sudah barang tentu kesenian Balanse tersebut lebih hidup dan memang suatu keharusan untuk hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Nias yang telah menjadi warga Kota Padang. Orang Nias warga Kota Padang tersebut adalah keturunan orang-orang Nias yang merantau dan mendirikan adat istiadat baru pada awal abad ke-16. Mereka adalah orang Nias yang telah diterima menjadi orang Padang, bukan para pendatang saat ini yang ada di Kota Padang. Orang-orang Nias awal abad ke-16 tersebut telah pula diterima secara adat oleh penguasa Kota Padang, yakni Sutan yang ada di Alang Laweh.

Karena orang-orang Nias sudah diakui menjadi warga Kota Padang, secara tidak langsung Tari Balanse Madam menjadi budaya atau kesenian tradisi Kota Padang yang terdapat pada komunitas orang-orang Nias di Seberang Palinggam, hingga komunitas orang-orang Nias di seluruh Kota Padang. Masyarakat kota secara moral turut mendukung terhadap keberlangsungan tari Balanse Madam. Pada kenyataannya hal ini dapat ditemui pada setiap perayaan ulang tahun Kota Padang tepatnya tanggal 7 Agustus setiap tahunnya. Dari partisipasi tentang pengakuan keberadaan tari Balanse Madam di Kota Padang oleh orang Minang yang mayoritas dan beragama Islam, hal ini berarti bahwa kesenian Balanse dapat diterima oleh warga Kota Padang sebagai bahagian dari kehidupan masyarakat kota. Kesenian Balanse telah diakui sebagai kesenian tradisi, yang merupakan warisan budaya, yang harus berkelanjutan secara turun-temurun dalam warga masyarakat pemilik tari Balanse itu sendiri.

Berbicara masalah tari Balanse Madam sebagai tarian adat masyarakat Nias, pada gilirannya seluruh komponen masyarakat Nias keturunan yang telah menjadi orang Padang (penduduk asli Padang semenjak abad ke-16) menjadi masyarakat pemilik budaya tari Balanse Madam. Walaupun masyarakat Nias terdiri dari daerah asal yang berbeda dari Kepulauan Nias, ditunjang oleh Marga yang berbeda-beda pula, sebut saja Zebua, Gulõ, Harefa, Dawõlõ, Lõmbu, Lawõlõ, Hura, Daeli, Zalukhu dan Laoli. Akan tetapi mereka telah diikat oleh persatuan budaya baru, yang tak lain kesenian tari Balanse Madam.

Semenjak pengakuan keberadaan mereka menjadi penduduk tetap Kota Padang, pada pertengahan abad ke-16 oleh Sutan Padang dan masyarakat Minangkabau, semenjak itu pula mereka disarankan membentuk identitas atau budaya baru yang dapat disesuaikan dengan kebudayaan masyarakat tempatan, yakni masyarakat Minangkabau. Peninggalan-peninggalan budaya lama disarankan untuk menyesuaikan. Apalagi konflik antar marga sering terjadi akibat berbenturan masalah budaya ke margaan dan wilayah asal tanah leluhur mereka.

Konsep pemikiran itulah melahirkan budaya baru orang Nias Padang, yang hanya dimiliki oleh orang Nias yang telah menjadi orang Padang. Salah satu dari gagasan tersebut melahirkan produk budaya tari Balanse Madam, yang diakui keberadaannya oleh semua marga atau oleh seluruh masyarakat Nias yang telah menjadi warga Kota Padang. Mulailah saat itu seluruh unsur kekerabatan dalam kesukuan atau marga orang-orang Nias keturunan merasa berkewajiban untuk mendukung keberadaan tari Balanse Madam dalam kehidupan sosial mereka.

Semenjak dicetuskan tarian Balanse Madam sebagai adat masyarakat Nias Padang, semenjak itu pula disosialisasikan dan dibudayakan menyangkut hal-hal teknis yang berlaku dalam pertunjukan tari Balanse Madam kepada seluruh lapisan masyarakat Nias yang tersebar di Seberang Palinggam dan Kampung Nias.

Kedua wilayah ini merupakan basis tempat tumbuh dan berkembangnya kesenian tari Balanse Madam pada awal pertumbuhannya di Kota Padang. Wilayah ini selalu ramai oleh para penduduk Nias keturunan pada abad ke-16 tatkala digelar pertunjukan kesenian tari Balanse Madam, masyarakat Nias di kedua wilayah ini menjadi masyarakat pendukung kesenian tari Balanse Madam secara tradisional.

Tak salah kiranya masyarakat pendukung tari Balanse Madam adalah orang-orang Nias yang telah menjadi warga Kota Padang, yang pada awalnya pertumbuhannya berbasis di wilayah Seberang Palinggam dan Kampung Nias. Masyarakat Nias Kota Padang secara tradisi dan kebudayaan merupakan pemilik sekaligus masyarakat pendukung tari Balanse Madam.

Masyarakat Nias yang telah menjadi warga Kota Padang pada abad ke-16, oleh para kepala kampung, kepala adat atau tetua adat dan orang-orang yang berpengaruh dalam kesukuan atau marga mendorong berbagai lapisan masyarakat untuk memahami, mengetahui dan mendukung keberlangsungan perkembangan tari Balanse Madam di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat Nias.

Salah satu bentuk keterikatan yang dapat mendorong keberlangsungan pertumbuhan tari Balanse Madam menurut Tawanto adalah melibatkan pemangku adat. Keterlibatan ini seperti diatur dalam tata cara penyajiannya. Dengan melibatkan orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat Nias, secara tidak langsung mengharuskan tarian Balanse Madam untuk terus tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Nias.

Sering dalam sosialisasi pertumbuhan tari Balanse Madam, para pemangku adat menurut Tawanto menyebarkan pengaruhnya dengan berbagai isu tentang betapa pentingnya kehadiran tari Balanse Madam sebagai media interaksi dan integrasi antar berbagai marga dan kesukuan dalam masyarakat Nias. Hal yang terpenting dalam mendorong masyarakat Nias untuk membudayakannya, adalah tari Balanse Madam berperan sebagai tanda mereka adalah orang Padang, tidak lagi orang Nias yang baru datang, akan tetapi adalah orang Padang. Memang pada tahun 1970-an ke bawah orang Padang pinggiran tidak mau disebut dengan orang Padang, karena menurut mereka, yang orang Padang itu adalah orang Nias. Barulah semenjak era 1980-an semenjak perluasan Kota Padang mereka mau disebut orang Padang.

Disamping tari Balanse Madam sebagai tarian tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Nias Kota Padang, akan tetapi bukan tidak ada masyarakat pecinta tarian ini diluar masyarakat Nias. Sebagai contoh adalah komunitas keturunan imigran dari Asia Selatan seperti suku Keling (Tamil dan India serta Gujarat).

Berbicara kehadiran orang-orang Nias di Padang, tak ketinggalan pula untuk menyinggung masyarakat keturunan dari suku Keling (istilah orang Minangkabau). Karena mereka merasa sesama perantau, hal ini menimbulkan rasa solidaritas diantara mereka. Rasa solidaritas ini berkembang pada relasi-relasi kepentingan politik dan ekonomi, serta eksistensi mereka di Kota Padang.

Untuk memperkokoh eksistensi mereka, perlu diantara mereka saling berbagi dan saling mendukung dalam hal ini salah satunya dalam masalah kebudayaan. Fakta yang jelas pada pertengahan abad ke-16 saat lahirnya orkes Musik Gamad di Kota Padang, salah satunya disebabkan campur tanganya orang Keling dan orang Nias, karena mereka berdualah lahir orkes Musik Gamad, yang kemudian berkembang sebagai musik pengiring tari Balanse Madam.

Walaupun demikian, kalangan suku Keling hanya ketika itu berada dalam tataran posisi penikmat, dan memberikan dukungan moral terhadap keberlangsungan pertumbuhan tari Balanse Madam di Kota Padang masa itu. Suku Keling adalah salah satu suku imigran dari luar kepulauan Nusantara yang dapat disejajarkan kedudukannya dengan suku Nias pada masa pertengahan abad ke-16 tersebut. Masyarakat Keling yang berada di sekitar sungai Batang Arau, atau tepatnya sekarang di daerah Pasar Gadang, Ranah dan daerah sekitar Tanah Kongsi di daerah Pondok sekarang, rata-rata kehidupan mereka berniaga. Masyarakat Keling sangat gemar dengan kesenian, baik tari maupun musik. Realitas ini yang menyeret mereka untuk respon terhadap kesenian tari Balanse Madam.

Ditilik dari pertunjukan tari Balanse Madam yang bernuansa pergaulan, dan tidak terlalu rumit untuk dipelajari. Apalagi tarian ini mengandung unsur joget, walaupun berupa langkah-langkah step biasa seperti gerak jalan (melenggang), bagi suku Keling terasa sesuai dengan pola-pola tarian leluhur mereka. Apalagi mereka membutuhkan media hiburan untuk berinteraksi. Dukungan masyarakat Keling membuat pertumbuhan tari Balanse Madam pada masa abad ke-16, menjadi membudaya dalam masyarakat Nias Padang.

Dukungan lain yang tak kalah penting adalah berasal dari Sutan Padang dan para warga Padang lainnya yang mayoritas suku Minangkabau. menurut Utiah, salah seorang pewaris tari Balanse Madam masa sekarang ini, tak jarang Sutan Padang menyaksikan pertunjukan tari Balanse Madam yang digelar dalam wilayah Kampung Nias dan Seberang Palinggam.

Sutan Padang sama sekali tidak melarang kesenian tari Balanse Madam dibudayakan di Kota Padang. Walaupun demikian Sutan Padang memberi saran agar kesenian tari Balanse Madam menyesuaikan dengan tata krama dan etika orang Minangkabau sebagai pemilik daerah kekuasan. Pertunjukan tari Balanse Madam agar tidak menyimpang dari pola-pola budaya Minangkabau.
Kenyataan yang terjadi pada masa awal pertumbuhan tari Balanse Madam, bahwa tarian ini tidak mendapat tantangan yang berarti dari masyarakat di luar suku Nias, baik dari suku Minangkabau maupun suku Keling, bahkan penguasapun baik Belanda dan Sutan Padang tidak melarang aktivitas kesenian ini. Ternyata pada gilirannya kesenian ini pulalah yang menjadi ikon kota Padang hingga masa kini.

Sungguhpun demikian dari abad ke-16 sampai orde lama dan awal orde baru atau tahun 1970-an, kesenian Balanse Madampun tidak pernah dimainkan oleh suku diluar suku Nias. Masyarakat Minang hanya sekedar penikmat, bahkah suku China dan Kelingpun merupakan penikmat yang setia hingga sekarang ini.

Memasuki tahun 1980-an barulah tari Balanse Madam mulai menyebar ke berbagai sanggar tari dan sekolah-sekolah seni atau perguruan tinggi seni di Sumatera Barat dan terutama di Kota Padang. Hal ini membuktikan masyarakat pendukung tari Balanse Madam buka saja berasal dari pemilik sah dari warisan budaya tersebut yakni masyarakat Nias, akan tetapi juga masyarakat Kota Padang pada umumnya.

Semenjak pemerintahan Kota Padang dipimpin oleh Syahrul Ujud tahun 1983, keterbukaan pemerintah terhadap kesenian asli kota Padang mulai dipopulerkan kembali ke tengah-tengah kehidupan masyarakat kota. Tidak saja kesenian asli yang berasal dari kenagarian di luar Kota Padang lama, seperti kesenian Nagari Pauah, Lubuk Kilangan, Nan Duo Puluah, Bungus Teluk Kabung dan Koto Tangah, yang jelas berakar pada budaya Minangkabau. Akan tetapi pemerintah kota juga menggali kembali kesenian asli warga Kota Padang yang telah diakui menjadi budaya Kota Padang. Melihat sejarah kehadiran orang Nias di Kota Padang, sudah barang tentu kesenian tari Balanse Madam merupakan warisan budaya Kota Padang yang perlu dilestarikan dan diakui keberadaannya.

Kehadiran tari Balanse Madam dengan sejarahnya panjang, oleh pemerintah Kota Padang semenjak kepemimpinan Syahrul Ujud pada tahun 1983, tarian ini dijadikan salah satu ikon Kota Padang, disamping Musik Gamad, yang juga banyak dimainkan oleh masyarakat Nias bersama komunitas Suku Keling keturunan.

* Tulisan ini muncul dalam blog Tantra Theatre Padang dan ditayangkan di Nias Online atas izin dari Bapak Indra Yudha, penulis artikel terebut.
**Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Universiti Sains Malaysia Dosen FBSS Universitas Negeri Padang.

Sejarah Batik (Tugas Sejarah)

SEJARAH BATIK INDONESIA
Petani Menulis :Dari PetaniOleh Petani Untuk Petani
Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa..
Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal di luar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka ke luar kraton dan dikerjakan di tempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.
Jaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan di daerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat berkembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan di sekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal di wilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Di luar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya di pasar Porong Sidoarjo. Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojokerto ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan di desa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahit namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat di daerah Jawa Tengah, Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipengaruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri ke arah timur dan sampai sekarang bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kyai yang statusnya turun-temurun. Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik sutra sejak dahulu kala terkenal juga di daerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Solo yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Solo yang menetap di daerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.
Jaman Penyebaran Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik disebutkan masalah seni batik di daerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid di daerah Patihan Wetan.
Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari di bidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. Disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni batik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan darma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.
Daerah pembatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman, yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kain putihnya juga memakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.
Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya, yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.

Batik Solo dan Yogyakarta
Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitarya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, oleh masyarakat batik dikembangkan menjadi komoditi perdagangan.
Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya baik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.
Sedangkan asal-usul pembatikan di daerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan rajanya Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah di desa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu, istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombinasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.
Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap di daerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan ke daerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainya. Meluasnya daerah pembatikan ini sampai ke daerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.
Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik.
Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.
Perkembangan Batik di Kota-kota lain
Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesainya peperangan tahun 1830, mereka kebanyakan menetap di daerah Banyumas. Pengikutnya yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewarna dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan kuning.
Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada akhir abad ke-XIX berhubungan langsung dengan pembatik di daerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan warna khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina disamping mereka dagang bahan batik. .
Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan, para pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan usaha batik di sekitara daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh pesat di Buaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya pembatikan di daerah-daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan daerah-daerah lainnya, yaitu sekitar abad ke-XIX. Perkembangan pembatikan di daerah-daerah luar selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan perkembangan sejarah kerajaan Yogya dan Solo.
Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya perang Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah ke daerah-daerah luar Yogya dan Solo karena tidak mau kerjasama dengan pemerintah kolonial. Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya ke daerah baru itu dan di tempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan untuk pencaharian.
Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah sekitarnya. Pekalongan khususnya dilihat dari proses dan desainnya banyak dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad ke-XX proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya buatan dalam negeri dan juga sebagian impor. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal pembikinan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan Inggris.
Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekajangan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen dan pernah buruh-buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto lari ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula.
Sedang pembatikan dikenal di Tegal akhir abad ke-XIX dan bahwa yang dipakai waktu itu buatan sendiri yang diambil dari tumbuh-tumbuhan : pace/mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal nila pabrik, dan kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah ke luar daerah antara lain Jawa Barat dibawa sendiri oleh pengusaha-pengusaha secara jalan kaki dan mereka inilah menurut sejarah yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis disamping pendatang-pendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah.
Pada awal abad ke-XX sudah dikenal mori impor dan obat-obat impor baru dikenal sesudah perang dunia kesatu. Pengusaha-pengusaha batik di Tegal kebanyakan lemah dalam permodalan dan bahan baku didapat dari Pekalongan dan dengan kredit dan batiknya dijual pada Cina yang memberikan kredit bahan baku tersebut. Waktu krisis ekonomi pembatik-pembatik Tegal ikut lesu dan baru giat kembali sekitar tahun 1934 sampai permulaan perang dunia kedua. Waktu Jepang masuk kegiatan pembatikan mati lagi.
Demikian pula sejarah pembatikan di Purworejo bersamaan adanya dengan pembatikan di Kebumen, yaitu berasal dari Yogyakarta sekitar abad ke-XI. Pekembangan kerajinan batik di Purworejo dibandingkan dengan di Kebumen lebih cepat di Kebumen. Produksinya sama pula dengan Yogya dan daerah Banyumas lainnya.
Sedangkan di daerah Bayat, Kecamatan Tembayat -Klaten yang letaknya lebih kurang 21 Km sebelah Timur kota Klaten. Daerah Bayat ini adalah desa yang terletak di kaki gunung tetapi tanahnya gersang dan minus. Daerah ini termasuk lingkungan Karesidenan Surakarta dan Kabupaten Klaten dan riwayat pembatikan di sini sudah pasti erat hubungannya dengan sejarah kerajaan kraton Surakarta masa dahulu. Desa Bayat ini sekarang ada petilasan yang dapat dikunjungi oleh penduduknya dalam waktu-waktu tertentu, yaitu “makam Sunan Bayat” di atas gunung Jabarkat. Jadi pembatikan di desa Bayat ini sudah ada sejak zaman kerajaan dahulu. Pengusaha-pengusaha batik di Bayat tadinya kebanyakan dari kerajinan dan buruh batik di Solo.
Sementara pembatikan di Kebumen dikenal sekitar awal abad ke-XIX yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Yogya dalam rangka dakwah Islam antara lain yang dikenal ialah Penghulu Nusjaf. Beliau inilah yang mengembangkan batik di Kebumen dan tempat pertama menetap ialah sebelah Timur Kali Lukolo sekarang dan juga ada peninggalan masjid atas usaha beliau. Proses batik pertama di Kebumen dinamakan teng-abang atau blambangan dan selanjutnya proses terakhir dikerjakan di Banyumas/Solo. Sekitar awal abad ke-XX untuk membuat polanya dipergunakan kunir yang capnya terbuat dari kayu. Motif-motif Kebumen ialah pohon-pohon, burung-burungan. Bahan-bahan lainnya yang dipergunakan ialah pohon pace, kemudu dan nila tom.
Pemakaian obat-obat impor di Kebumen dikenal sekitar tahun 1920 yang diperkenalkan oleh pegawai Bank Rakyat Indonesia yang akhimya meninggalkan bahan-bahan bikinan sendiri, karena menghemat waktu. Pemakaian cap dari tembaga dikenal sekitar tahun 1930 yang dibawa oleh Purnomo dari Yogyakarta. Daerah pembatikan di Kebumen ialah di desa Watugarut, Tanurekso yang banyak dan ada beberapa desa lainnya.
Dilihat dengan peninggalan-peninggalan yang ada sekarang dan cerita-cerita yang turun-temurun dari terdahulu, maka diperkirakan di daerah Tasikmalaya batik dikenal sejak zaman “Tarumanagara” dimana peninggalan yang ada sekarang ialah banyaknya pohon tarum didapat di sana yang berguna untuk pembuatan batik waktu itu. Desa peninggalan yang sekarang masih ada pembatikan dikerjakan ialah Wurug terkenal dengan batik kerajinannya, Sukapura, Mangunraja, Maronjaya dan Tasikmalaya kota.
Dahulu pusat dari pemerintahan dan keramaian yang terkenal ialah desa Sukapura, Indihiang yang terletak di pinggir kota Tasikmalaya sekarang. Kira-kira akhir abad ke-XVII dan awal abad ke-XVIII akibat dari peperangan antara kerajaan di Jawa Tengah, maka banyak dari penduduk daerah Tegal, Pekalongan, Ba-nyumas dan Kudus yang merantau kedaerah Barat dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya. Sebagian besar dari mereka ini adalah pengusaha-pengusaha batik daerahnya dan menuju kearah Barat sambil berdagang batik. Dengan datangnya penduduk baru ini, dikenallah selanjutnya pembutan baik memakai soga yang asalnya dari Jawa Tengah. Produksi batik Tasikmalaya sekarang adalah campuran dari batik-batik asal Pekalongan, Tegal, Banyumas, Kudus yang beraneka pola dan warna.
Pembatikan dikenal di Ciamis sekitar abad ke-XIX setelah selesainya peperangan Diponegoro, dimana pengikut-pengikut Diponegoro banyak yang meninggalkan Yogyakarta, menuju ke selatan. Sebagian ada yang menetap di daerah Banyumas dan sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Mereka ini merantau dengan keluarganya dan di tempat baru menetap menjadi penduduk dan melanjutkan tata cara hidup dan pekerjaannya. Sebagian dari mereka ada yang ahli dalam pembatikan sebagai pekerjaan kerajinan rumah tangga bagi kaum wanita. Lama kelamaan pekerjaan ini bisa berkembang pada penduduk sekitarnya akibat adanya pergaulan sehari-hari atau hubungan keluarga. Bahan-bahan yang dipakai untuk kainnya hasil tenunan sendiri dan bahan catnya dibuat dari pohon seperti: mengkudu, pohon tom, dan sebagainya.
Motif batik hasil Ciamis adalah campuran dari batik Jawa Tengah dan pengaruh daerah sendiri terutama motif dan warna Garutan. Sampai awal-awal abad ke-XX pembatikan di Ciamis berkembang sedikit demi sedikit, dari kebutuhan sendiri menjadi produksi pasaran. Sedang di daerah Cirebon batik ada kaitannya dengan kerajaan yang ada di daerah ini, yaitu Kanoman, Kasepuhan dan Keprabonan. Sumber utama batik Cirebon, kasusnya sama seperti yang di Yogyakarta dan Solo. Batik muncul lingkungan kraton, dan dibawa keluar oleh abdi dalem yang bertempat tinggal di luar kraton. Raja-raja jaman dulu senang dengan lukisan-lukisan dan sebelum dikenal benang katun, lukisan itu ditempatkan pada daun lontar. Hal itu terjadi sekitar abad ke-XIII. Ini ada kaitannya dengan corak-corak batik di atas tenunan. Ciri khas batik Cirebonan sebagaian besar bermotifkan gambar lambang hutan dan margasatwa. Sedangkan adanya motif laut karena dipengaruhioleh alam pemikiran Cina, dimana kesultanan Cirebon dahulu pernah menyunting putri Cina. Sementra batik Cirebonan yang bergambar garuda karena dipengaruhi oleh motif batik Yogya dan Solo.
Pembatikan di Jakarta
Pembatikan di Jakarta dikenal dan berkembangnya bersamaan dengan daerah-daerah pembatikan lainnya yaitu kira-kira akhir abad ke-XIX. Pembatikan ini dibawa oleh pendatang-pendatang dari Jawa Tengah dan mereka bertempat tinggal kebanyakan di daerah-daerah pembatikan. Daerah pembatikan yang dikenal di Jakarta tersebar di dekat Tanah Abang, yaitu Karet, Bendungan Ilir dan Udik, Kebayoran Lama, dan daerah Mampang Prapatan serta Tebet.
Jakarta sejak zaman sebelum perang dunia kesatu telah menjadi pusat perdagangan antar daerah Indonesia dengan pelabuhannya Pasar Ikan sekarang. Setelah perang dunia kesatu selesai, dimana proses pembatikan cap mulai dikenal, produksi batik meningkat dan pedagang-pedagang batik mencari daerah pemasaran baru. Daerah pasaran untuk tekstil dan batik di Jakarta yang terkenal ialah Tanah Abang, Jatinegara dan Jakarta Kota, yang terbesar ialah Pasar Tanah Abang sejak dari dahulu sampai sekarang. Batik-batik produksi daerah Solo, Yogya, Banyumas, Ponorogo, Tulungagung, Pekalongan, Tasikmalaya, Ciamis dan Cirebon serta lain-lain daerah, bertemu di Pasar Tanah Abang dan dari sini baru dikirim ke daerah-daerah di luar Jawa. Pedagang-pedagang batik yang banyak ialah bangsa Cina dan Arab, bangsa Indonesia sedikit dan kecil.
Oleh karena pusat pemasaran batik sebagian besar di Jakarta khususnya Tanah Abang, dan juga bahan-bahan baku batik diperdagangkan di tempat yang sama, maka timbul pemikiran dari pedagang-pedagang batik itu untuk membuka perusahaan batik di Jakarta dan tempatnya ialah berdekatan dengan Tanah Abang. Pengusaha-pengusaha batik yang muncul sesudah perang dunia kesatu, terdiri dari bangsa Cina, dan buruh-buruh batiknya didatangkan dari daerah-daerah pembatikan Pekalongan, Yogya, Solo dan lain-lain. Selain dari buruh batik luar Jakarta itu, maka diambil pula tenaga-tenaga setempat di sekitar daerah pembatikan sebagai pembantunya. Berikutnya, melihat perkembangan pembatikan ini membawa lapangan kerja baru, maka penduduk asli daerah tersebut juga membuka perusahaan-perusahaan batik. Motif dan proses batik Jakarta sesuai dengan asal buruhnya didatangkan, yaitu Pekalongan, Yogya, Solo, dan Banyumas.
Bahan-bahan baku batik yang dipergunakan ialah hasil tenunan sendiri dan obat-obatnya hasil ramuan sendiri dari bahan-bahan kayu mengkudu, pace, kunyit dan sebagainya. Batik Jakarta sebelum perang terkenal dengan batik kasarnya warnanya sama dengan batik Banyumas. Sebelum perang dunia kesatu bahan-bahan baku cambric sudah dikenal dan pemasaran hasil produksinya di Pasar Tanah Abang dan daerah sekitar Jakarta.
Pembatikan di Luar Jawa
Dari Jakarta, yang menjadi tujuan pedagang-pedagang di luar Jawa, maka batik kemudian berkembang di seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia yang ada di luar Jawa, daerah Sumatera Barat misalnya, khususnya daerah Padang, adalah daerah yang jauh dari pusat pembatikan di kota-kota Jawa, tetapi pembatikan bisa berkembang di daerah ini.
Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak zaman sebelum perang dunia kesatu, terutama batik-batik produksi Pekalongan (saingannya) dan Solo serta Yogya. Di Sumatera Barat yang berkembang terlebih dahulu adalah industri tenun tangan yang terkenal “tenun Silungkang” dan “tenun plekat”. Pembatikan mulai berkembang di Padang setelah pendudukan Jepang, dimana sejak putusnya hubungan antara Sumatera dengan Jawa waktu pendudukan Jepang, maka persediaan-persediaan batik yang ada pada pedagang-pedagang batik sudah habis dan konsumen perlu batik untuk pakaian sehari-hari mereka. Ditambah lagi setelah kemerdekaan Indonesia, dimana hubungan antara kedua pulau bertambah sukar, akibat blokade-blokade Belanda, maka pedagang-pedagang batik yang biasa hubungan dengan pulau Jawa mencari jalan untuk membuat batik sendiri.
Dengan hasil karya sendiri dan penelitian yang seksama, dari batik-batik yang dibuat di Jawa, maka ditirulah pembuatan pola-polanya dan diterapkan pada kayu sebagai alat cap. Obat-obat batik yang dipakai juga hasil buatan sendiri, yaitu dari tumbuh-tumbuhan seperti mengkudu, kunyit, gambir, damar dan sebagainya. Bahan kain putihnya diambilkan dari kain putih bekas dan hasil tenun tangan. Perusahaan batik pertama muncul yaitu daerah Sampan Kabupaten Padang Pariaman tahun 1946 antara lain Bagindo Idris, Sidi Ali, Sidi Zakaria, Sutan Salim, Sutan Sjamsudin dan di Payakumbuh tahun 1948 Sdr. Waslim (asal Pekalongan) dan Sutan Razab. Setelah daerah Padang serta kota-kota lainnya menjadi daerah pendudukan tahun 1949, banyak pedagang-pedagang batik membuka perusahaan-perusahaan/bengkel batik dengan bahannya didapat dari Singapura melalui pelabuhan Padang dan Pekanbaru. Tetapi pedagang-pedagang batik ini setelah ada hubungan terbuka dengan pulau Jawa kembali berdagang dan perusahaannya mati.
Warna dari batik Padang kebanyakan hitam, kuning dan merah ungu serta polanya Banyumasan, Indramayuan, Solo dan Yogya. Sekarang batik produksi Padang lebih maju lagi tetapi tetap masih jauh dari produksi-produksi di pulau Jawa ini. Alat untuk cap sekarang telah dibuat dari tembaga dan produksinya kebanyakan sarung.

adolf hitler (Tugas Sejarah)

Adolf Hitler
Adolf Hitler (20 April 1889 - 30 April 1945) iku salah sijining dhiktator ing donya sing paling kejem. Dhèwèké tau mimpin negara Jerman saka taun 1933 nganti 1945. Hitler sing ngadegaké parté NSDAP utawa Nazi. Banjur ing pamilihan umum ing taun 1933 Hitler bisa menang dadi Kanselir Jerman. Dhèwèké dadi misuwur amerga nduwé karep nguwasani sa-Éropah lan ngembangaké bangsa Jerman supaya sumebar. Hitler nganggep yèn wong Yahudi iku mungsuhé wong Jerman. Hitler iku sing miwiti Perang Donya II ing Eropah. Nalika mimpin, akèh wong-wong sing dianggep asor ing Eropah kayata wong Yahudi, Slavia, Gipsi lan sabanjuré ditumpes. Sing tiwas ing Perang Donya II iki, nganti puluhan yuta jiwa, kalebu enem yuta wong Yahudi.
Nalika ing pungkasaning Perang Donya II, rikala Berlin dikupengi Wadya Bala Abang, Uni Sovyèt, Hitler kawin resmi karo pacaré; Eva Braun. Ora nganti 24 jam manèh, loro-loroné padha sudhuk slira ing tanggal 30 April 1945 ing jero Führerbunker ("bunker Sang Pemimpin").





Latar wuri


Adolf minangka bayi
Mèh kabèh biografi Hitler nudhuhaké prabédan gedhé antara paruh kapisan lan kapindho uripé. Nganti umur kira-kira 30 taun, Hitler iku dudu apa-apa, tanpa perspèktif masa ngarep, tilas prajurit Perang Donya I sing gagal lan kuciwa tanpa sipat-sipat astamiwa. Nanging Hitler bisa dadi Kanselir Jerman lan dhiktator sing nguwasani sa-Éropah ing wanci sawetara taun waé lan malahan dayané bisa ngungkuli para pamimpin sadurungé lan sawisé.
[sunting] Mangsa cilik
Adolf Hitler lair ing Braunau am Inn, Austria, minangka anak kaping papat saka anak enem. Bapakné Alois Hitler, (1837–1903), iku sawijining pegawé pabéyan. Ibuné Klara Pölzl, (1860–1907), iku bojo Alois sing katelu. Nanging Klara iku isih sanak-seduluré, dadi supaya bisa kawin, dhèwèké kudu olèh dispènsasi saka Paus dhisik. Saka putra Alois lan Klara sing enem cacahé, namung Adolf lan Paula sing urip nganti diwasa. Bapané Hitler, uga nduwé anak lanang, Alois Jr lan anak wadon, Angela saka bojoné sing kapindho.
Alois Hitler iku lair minangka bocah haram. Salawasé 39 taun, Alois nganggo jeneng ibuné Schicklgruber. Ing taun 1876, dhèwèké njupuk jeneng bapak kuwaloné, Johann Georg Hiedler. Jeneng iki ditulis Hiedler, Huetler, lan Huettler. Éjaan Hitler iku mbokmenawa salah tulisé sawijining juru tulis. Asal jeneng iki yaiku tembung Jermanik Hittler utawa sing mèmper lan tegesé kurang luwih "sing manggon ing gubug", "juru angon" utawa saka basa Slavik Hidlar lan Hidlarcek.
Propaganda sekutu eksploitasi jeneng marga (jeneng kulawarga) asliné Hilter nalika ing Perang Donya II. Akèh pamflèt sing disebar saka montor mabur ing kutha-kutha Jerman isiné ukara Heil Schicklgruber. Nanging sajatiné kepriyé waé Hitler resmi lair minangka Hitler lan dhèwèké uga ana gandhèngané karo Hiedler liwat mbah putriné saka ibuné, Johanna Hiedler.
Jeneng Adolf iku asalé saka basa Jerman Dhuwur Kuna kanggo "sregala priyayi" (Adel=priyayi + wolf=sregala). Dadi, salah sijiné peparabané Hitler iku Wolf utawa Herr Wolf, sing wis dienggo ing dasawarsa 1920-an lan utamané namung dienggo déning kanca-kanca cedhaké (kaya ta Oom Wolf déning kulawarga Wagner) nganti ambruké Reich ka-III. Jenengé sawetara markas gedhé Hitler saindhenging Eropah uga nyandhang jeneng "sregala" (Wolfsschanze "Susuh sregala" ing Prusia Wétan, Wolfsschlucht "Jurang sregala" ing Prancis, Werwolf "Sregala siluman" ing Ukraina lan sabanjuré). Déning kanca cedhaké lan para waris, Hitler diarani "Adi".
Minangka bocah cilik, Hitler tau ngomong yèn dhèwèké kerep dipecuti bapakné. Taunan sawisé dhèwèké tau celathu marang sekretarisé: "Banjur aku tékad nduwé kekarepan ora arep nangis manèh yèn bapaku mecuti aku. Pirang dina sawisé iku, aku duwé kasempatan kanggo mbuktèkaké kekarepku. Ibuku, sing wedi, mlayu ing ngarepe lawang. Aku dhéwé, meneng sinambi ngétung pecutan sing kena ing bokongku."
Simbah kakungé Hitler saka bapakné kamungkinan gedhé iku salah siji saka Johann Georg Hiedler utawa Johann Nepomuk Hiedler. Ana gosip yèn Hitler iku mbokmenawa seprapat Yahudi lan mbahé wadon, Maria Schicklgruber, tau meteng nalika nyambut gawé dadi réwang ing salah sijining kulawarga Yahudi. Gosip-gosip iki minangka pulitik temtuné bisa ngakibataké dampak sing gedhé kanggo Hitler sing ndarbéni paham anti-sémitik lan rasis. Mulané para lawan pulitik Hitler akèh sing nyoba mbuktèkaké yèn dhèwèké iku nduwé keturunan Yahudi utawa Ceko. Senadyan gosip-gosip iki ora tau bisa dibuktèkaké, kanggo Hitler kabèh iki mènèhi alesan cukup kanggo nutupi asal-usulé. Miturut Robert G. L. Waite ing The Psychopathic God: Adolf Hitler, Hitler banjur nglarang wong wadon Jerman nyambut gawé ing kulawarga Yahudi lan sawisé Anschluss utawa pancaplokan Austria, Hitler nggawé kutha klairan bapakné dadi papan latihan artileri. Waite celathu yèn olèhé Hitler kurang percaya dhiri iku luwih wigati tinimbang apa asal-usul Yahudiné bisa dibuktèkaké lawan-lawané apa ora.
Kulawarga Hitler kerep pindhah-pindhah, saka Braunau am Inn menyang Passau, Lambach, Leonding, lan Linz. Hitler nalika enom iku sawijining murid sing pinter ing SD. Nanging nalika ing taun kapisan SMP (Realschule) ing Linz, dhèwèké gagal lan kudu ngulang manèh. Guru-guruné celathu yèn dhèwèké "ora nduwé karep nyambut gawé". Salah siji kanca sekolahé Hitler ing Realschule iku Ludwig Wittgenstein, salah sijining filsuf paling wigati ing abad kaping 20. Sawijining buku déning Kimberley Cornish mènèhi kesan yèn konflik antara Hitler lan sawetara murid Yahudi, kaya ta Wittgenstein, iku mèlu mènèhi kagethingané Hitler marang wong Yahudi sing pungkasané nggawé Hitler dadi anti-sémitik.
Hitler dhéwé kandha yèn kegagalané ing sekolah iku merga dhèwèké mbaléla marang bapakné, sing kepéngin supaya dhèwèké dadi pegawé pabéyan. Nanging Hitler sajatiné kepéngin dadi pelukis. Hitler mbésuk kandha yèn dhèwèké sajatiné iku sawijining seniman sing ora dimangertèni. Kepriyé waé, nalika Alois tilar donya ing 3 Januari 1903, préstasi Hitler ing sekolah ora dadi luwih apik. Mawa umur 16 taun, Hitler jebol saka sekolah tanpa ijazah.
Ing Mein Kampf, Hitler kandha yèn tuwuhing rasa nasionalisme Jermané iku merga nalika remaja tau maca buku bapakné perkara Perang Prancis-Prusia sing nggawé dhèwèké dadi mikir lan takon kena apa bapaké lan wong-wong Jerman Austria liyané ora mèlu perang mbéla Jerman wektu kuwi.
[sunting] Masa diwasa awal ing Wina lan München
Saka taun 1905 lan sabanjuré, Hitler urip kayadéné seniman ing Wina ing sawijining wisma yatim-piatu lan olèh tunjangan saka ibuné. Dhèwèké ditulak nganti ping loro nalika péngin mlebu Akademi Seni Murni Wina (1907-1908) mawa alesan "kurang cocog kanggo nglukis". Dhèwèké uga dikandhani yèn mbokmenawa luwih cocog studi arsitèktur. [1] Ing bukuné Hitler kandha mengkéné:


Tujuan perjalananku iku kanggo studi galeri lukisan ing Museum Karajan, nanging aku sajatiné namung ndelengi gedhongé waé. Saka ésok nganti bengi, aku mlayu saka obyèk siji menyang obyèk liyané, nanging sing tak-senengi mesthi namung gedhongé waé."[2]



Nuruti saran sekolahé, Hitler dhéwé yakin yèn iki pancèn dalan uripé, nanging dhèwèké ora nduwé ijazah kanggo kuliyah ing sekolah arsitèktur:


Ing sawetara dina aku ngerti yèn sawijining dina aku arep dadi arsitèk. Pesthiné, angèl banget arep kuliyah iki amerga aku nglirwakaké sekolahku ing Realschule sing saiki diperlokaké banget. Aku ora bisa kuliyah ing akademi arsitektur tanpa nduwé ijazah. Aku ora bisa mencapai cita-citaku.[3]



Ing 21 Desember 1907, ibuné Hitler tilar donya déning penyakit kanker payudara mawa umur 47 taun. Banjur Hitler dikon déning Pengadilan ing Linz supaya mènèhaké bagéyan tinggalan yatimé marang seduluré wadon, Paula. Nalika umur 21 taun, Hitler olèh warisan saka tantené. Dhèwèké rekasa dadi sawijining pelukis ing Wina, niru gambar-gambar saka kartu-kartu pos lan ngedol lukisané marang para dagang lan wisatawan.
Sawisé ditolak manèh kapindho ing Akademi Seni, dhuwité Hitler entèk. Ing taun 1909 Hitler urip ing omah panampungan kaum glandhangan. Banjur ing taun 1910, Hitler mondhok ing wésma wong-wong kéré Hitler celathu yèn dhèwèké nalika kapisan dadi wong anti-sémitik iku awalé ana ing Wina, (Mein Kampf, jilid 1, bab 2: "Taun studi lan kasengsaran ing Wina") sing nduwé komunitas Yahudi gedhé, kalebu wong-wong Yahudi Ortodoks sing August Kubizek, Hitler iku uwis dadi "anti-sémit sing tegas" sadurungé ninggalaké Linz, Austria.[4]
Wina nalika iku sawijining sarang prasangka tradisional religius lan rasisme abad kaping 19. Hitler bisa waé kena pengaruh anti-sémitisme déning polémik lan tokoh Austria lan Wina kala kuwi. Hitler dhéwé kandha ing Mein Kampf yèn transisiné saka wong sing ora sarujuk marang anti-sémitisme sing adhedhasar alesan agama dadi wong sing nyekuyung anti-sémitisme adhedhasar alesan rasial iku sawisé ndeleng sawijining wong Yahudi Ortodoks:


Ing Linz namung ana sithik wong Yahudi. Ing salawasé abad, wong-wong Yahudi sing urip ing kana wis dadi kaya wong Eropah lan mèmper banget karo umat manungsa liyané nganti aku dhéwé nganggep kabèh iku wong Jerman. Alesané kena apa kala iku aku ora wruh absurditas ilusi kaya mengkono iku amerga siji-sijiné tandha jaba sing tak-wruhi mbédakaké wong Yahudi karo awaké dhéwé iku praktèk agamané sing anèh. Nalika aku nggagas wong Yahudi iku dikuya-kuya amerga kapercayané, aku dadi krasa gething sing tumuwuh mèh dadi rasa gila yèn krungu kritik pedhes sing ditujokaké marang wong Yahudi. Aku ora bisa weruh yèn ana barang kaya ta anti-sémitisme sistèmatik.
Ing sawijining dina, nalika mlaku ngliwati punjer kutha, ujug-ujug aku weruh fénoména iki ing jubah dawa lan nganggo kuncir ireng loro ing pipi. Pikiranku sing pisan iku: Apa iki wong Yahudi? Sing cetha ing Linz wong Yahudi ora kaya mengkéné rupané. Ati-ati lan meneng-meneng wong iku tak-delengi, nanging saya suwé tak-delengi patemon anèh iki lan sawisé tak-titèni ciri-ciri khasé, saya suwé pitakonan iki dadi muncul ing batinku: Apa iki wong Jerman?[5]



Menawa crita iki bener, Hitler dadi jebulé ora tumindhak adhedhasar kapercayané sing anyar. Dhèwèké kerep mertamu mèlu mangan ing omahé kulawarga priyayi Yahudi lan sesrawungan karo para dagang Yahudi sing nyoba ngedolaké lukisané.[6]
Hitler mbokmenawa uga dipengaruhi déning karya Martin Luther Von den Juden und ihren Lügen ("Bab wong Yahudi lan dustané"). Prastawa Kristallnacht ("Wengi kristal") kadadéyan ing tanggal 10 November – dina ulang tauné Luther. Ing Mein Kampf, Hitler ngrujuk Martin minangka sawijining satriya agung, negarawan sejati, lan tokoh réformis agung, sesandhingan karo Wagner lan Friedrich Agung.[7] Wilhelm Röpke, sawijining sejarawan sing nulis bukuné sawisé Perang Donya II, narik kasimpulan yèn "wis jelas, Lutheranisme awèh pengaruh pulitik, spiritual lan sajarah sosial Jerman ing cara tartamtu nganti sawisé kabèh iku direnungaké, namung bisa diarani pancèn wis garisé."[8]
Hitler dhéwé kandha yèn wong-wong Yahudi iku mungsuhé wong Arya. Dhèwèké nganggep yèn wong Yahudi iku sing ndhalangi krisis ing Austria. Hitler uga nganggep sawetara wangun sosialisme lan bolshevisme sing nduwé akèh pemimpin Yahudi minangka gerakan Yahudi lan ngaworaké paham anti-sémitisme Hitler, karo kagethingané marang Marxisme.
Hitler uga narik kesimpulan saka kagègèran ing parlemèn negara Austria sing multi-kultural yèn sistèm démokrasi parlementèr iku ora apik. Senadyan mengkono, miturut August Kubizek, sing tau dadi kancané, Hitler luwih ketarik marang opera Wagner tinimbang pulitik.
Hitler olèh warisan pungkasan saka bapakné ing sasi Mei 1913 lan banjur pindhah menyang München. Dhèwèké nulis ing Mein Kampf yèn dhèwèké wis nityasa péngin urip ing sawijining kutha Jerman "sejati". Ing München, dhèwèké dadi luwih ketarik marang arsitèktur lan karya Houston Stewart Chamberlain. Saliyané iku olèhé pindhah menyang München uga ngréwangi kekarepe mlayu saka wajib militèr Austria. Wusanané wadya-bala Austria bisa nangkep Hitler. Sawisé ditliti sacara fisik dhèwèké dianggep ora cocog makarya ing wadya-bala lan olèh bali menyang München manèh. Nanging nalika Perang Donya I pecah, Hitler nyuwun idin marang Raja Ludwig III saka Bayern supaya pareng bekti ing sawijining résimèn Bayern. panyuwuné dilulusaké lan Adolf Hitler mlebu wadya-bala Bayern.[9]
[sunting] Perang Donya I
Pecahing Perang Donya I iku ing Jerman disambut anget, uga déning Hitler. Hitler sing péngin mèlu perang, dianggep anèh. Dhèwèké olèh fungsi caraka. Ing fungsi iki Hitler kudu nggawa préntah-préntah perang ing front kulon sing ngarep dhéwé mlebu ing jero parit. Kontak senjata kapisané kadadéyan nalika ana ing Pertempuran Ieper I cedhak Kruiseke/Wervik. Hitler pancèn kendel lan kabuktèn amerga dhèwèké ing Desember 1914 olèh pahargyan Eisernes Kreuz 2. Klasse
Ing Mei 1918, dhèwèké olèh panghargyan ijazah amerga kendel marang musuh lan ing Desember 1918 dhèwèké olèh Eisernes Kreuz 1. Klasse sing arang diwènèhaké marang prajurit. Ing 1918 dhèwèké tatu déning serangan gas minangka nduwé pangkat korperal (basa Jerman Gefreiter). Wektu iku dhèwèké dadi wuta lan kudu diopname telung sasi ing rumah sakit.
Wektu iku amerga dhèwèké lara, dadi ora ngalami gencatan senjata. Mula dhèwèké percaya karo gosip yèn Jerman dicidrani déning para pulitikus lan utamané kaum komunis. Para pancidra iki diarani para "Durjana November" (Novemberverbrecher).
[sunting] Hitler mèlu pulitik
Sawisé Perang Donya I, Hitler tetep dadi prajurit ing wadya-bala Jerman lan bali menyang München. Ing kono – séjé karo katrangané mbésuk – dhèwèké mèlu nglayat lelayoné Perdana Menteri Bayern sing dipatèni, Kurt Eisner. Sawisé 'Republik Sovyèt Bayern' ditumpes, Hitler mèlu kursus "pamikiran nasional" sing dianakaké déning Bagiyan Pendidikan lan Propaganda klompok Reichswehr (angkatan senjata) Bayern lan dikepalani déning Kaptèn Karl Mayr. Sing dadi kambing ireng kala iku "komunitas Yahudi internasional", kaum komunis lan para pulitikus ing kabèh partai pulitik, utamané partai-partai pulitik ing koalisi pamaréntahan Weimar.
Ing Juli 1919, Hitler ditunjuk dadi Verbindungsmann ("mata-mata pulisi") sawijining Aufklärungskommando ("Komando inteligènsi) déning Reichswehr. Karepé iku Hitler dikon mempengaruhi lan infiltrasi sawijining partai pulitik cilik "Partai Buruh Jerman" utawa Deutsche Arbeiterspartei (DAP). Nalika nylidiki partai iki, Hitler malahan dadi kasengsem karo paham pelopor partai iki: Anton Drexler. Anton Drexler nduwé paham anti-sémitisme, nasionalisme, anti-kapitalisme lan anti-Marxisme. Drexler nyekuyung sawijining pamaréntah sing kuwat, sawijining vèrsi paham "sosialime non-Yahudi" lan solidaritas antara kabèh anggota masarakat.
Hitler ing kéné uga tepungan karo Dietrich Eckart, sawijining pangrintis partai lan anggota komunitas Thule sing asifat klenik. Eckart dadi mèntoré Hitler, lan kerep dhiskusi karo dhèwèké, ngajari tatacara lan tatakrama pacelathon saha klambèn. Saliyané iku Hitler ditepungaké marang wong akèh. Hitler wusanané matur nuwun marang Eckart lan jenengé disebut ing jilid kapindho Mein Kampf.
Hitler diwetokaké saka wadya-bala ing sasi Maret 1920 lan tilas atasané tetep nyekuyung supaya dhèwèké tetep aktif ing kauripan partai. Ing awal taun 1921, Hitler wis pinter pidhato ing ngarepé wong akèh. Ing sasi Februari, Hitler pidhato marang mèh wong 6.000 ing München. Kanggo sosialisi yèn ana 'tabligh akbar', Hitler ngirim rong truk kebak suporter partai supaya muter-muter lan nggawa simbul-simbul swastika, nggawé gègèran lan nyebar brosur. Ini panrapan kapisan taktiké. Hitler dhéwé dadi misuwur sacara umum déning pidhatoné sing kasar, polèmis lan nentang Prajanjian Versailles, lawan pulitik (kalebu kaum monarkis, nasionalis lan sosialis non-internasional liyané) lan utamané marang kaum Marxis lan Yahudi.
DAP punjeré ana ing München, sarang nasionalisme Jerman sing panas, kalebu para upsir militèr sing nduwé kekarep numpes kaum Marxis lan nggulingaké Republik Weimar. Alon-alon kabèh padha weruh Hitler lan nganggo Hitler minangka sawijining wahana kanggo kawigatènané dhéwé-dhéwé. Hitler lunga menyang Berlin lan marani klompoj nasionalis ing musim panas taun 1921, lan nalika Hitler ora ana, ana pambalélan marang para kepala DAP ing München.
Partainé saiki diparéntah déning sawijning komité èksèkutif lan anggota-anggota asliné nganggep yèn Hitler iku gawé masalah. Banjur kabèh nggawé pasekuton karo sawijining kelompok sosialis saka Augsburg. Hitler langsung bali menyang München lan ngancam arep metu saka partai ing tanggal 11 Juli 1921. Nalika kabèh pada sadhar yèn Hitler metu saka partai, partainé bakal sirna, Hitler njupuk momèntum iki lan kandha gelem bali mawa sarat dhèwèké diwèhi kakuwasan diktatorial. Anggota komité sing nesu nulak dhisik. Banjur sawetara iku ana pamflèt anonim sing disebar lan isiné kritik sing ditujokaké marang Hitler lan wong-wong cedhaké sing ganas. Hitler banjur mbales mawa nulis layang ing sawijining koran München lan nganggep pitenah lan wusanané bisa menang.
Komité èksèkutif DAP wusanané dadi luwih longgar lan panjaluké Hitler diserahaké para anggota lan dianakaké sawijining pamungutan swara. Hitler olèh 534 swara pro lan namung siji sing kontra. Banjur ing tanggal 29 Juli 1921, Adolf Hitler diangkat dadi Führer utawa pamimpin partai iki. Jeneng partai iki déning Hitler banjur diganti dadi Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (dicekak NSDAP) utawa Partai Buruh Jerman Nasional-Sosialis.
Sawisé iku partai iki olèh saya akèh anggota déning pidhato-pidhatoné Hitler sing èkstrem nyerang wong Yahudi, kaum sosial-démokrat, liberal, monarkis, kapitalis lan komunis. Wong-wong sing wiwit katarik klebu Rudolf Hess, Hermann Göring sing manten pilot angkatan udara, lan kaptèn Ernst Röhm, saka angkatan dharat. Röhm dadi kepala organisasi paramilitèr Nazi sing diarani SA (Sturmabteilung utawa "Bagian Panyerangan"). SA sing ngreksa rapat-rapat NSDAP lan intimidasi lawan-lawan pulitiké. Saliyané iku Hitler uga nyerep kelompok-kelompok mardika liyané, kaya ta Deutsche Werkgemeinschaft sing papané ana ing Nürnberg lan sadurungé dipimpin déning Julius Streicher lan diangkat dadi Gauleiter (sajenis Gubernur) ing Franconia. Hitler uga digatèkaké déning pebisnis lokal lan wiwit iku Hitler ditampa ing antara kalangan élit masarakat München lan tepungan karo Jéndral Erich Ludendorff sing mèlu dines ing Perang Donya I.
[sunting] Bierkeller Putsch


Sawijining prasasti sing wiwit didokok ing taun 1994 lan ngélingaké para pulisi sing tiwas: Friedrich Fink, Nikolaus Hollweg, Max Schobert, lan Rudolf Schraut.
Artikel utama: Bierkeller Putsch
Ing pungkasan taun 1923, Adolf Hitler rumangsa yèn wektuné wis cocog kanggo ngrebut kakuwasan ing Jerman. Hitler olèh ilham déning Benito Mussolini sing nganakaké Mars menyang Roma lan bisa ngrebut kakuwasan. Banjur karo sekuyungan kancané, Jéndral Erich Ludendorff, Hitler ing tanggal 8 November 1923 lunga karo pendukungé menyang sawijining balé minuman bir ing kutha München lan ing basa Jerman diarani Bierkeller. Ing kono pas ana Gustav Ritter von Kahr, pemimpin Bayern. Hitler banjur nodhongaké pistulé lan nuntut kakuwasan, dhèwèké nyoba nggulingaké kakuwasan utawa nganakaké kudéta (basa Jerman Putsch). Rencanané yèn kakuwasan wis olèh ing München, Hitler lan kanca-kancané arep mars menyang Berlin.
Nanging penggayuhé Hitler ora kasil lan wusanané ana témbak-témbakan antara pulisi lan para sekuyungé Hitler. Ana 4 pulisi sing tiwas lan 16 kaum Nazi sing mati. Wong-wong Nazi sing mati iki mbésuk didadèkaké martir déning Hitler lan dianggep mati syuhada:
• Felix Alfarth
• Andreas Bauriedl
• Theodor Casella
• William Ehrlich
• Martin Faust
• Anton Hechenberger
• Oskar Körner
• Karl Kuhn
• Karl Laforce
• Kurt Neubauer
• Klaus von Pape
• Theodor von der Pfordten
• Johann Rickmers
• Max Erwin von Scheubner-Richter
• Lorenz Ritter von Stransky
• Wilhelm Wolf
Hitler dhéwé ésoké ing tanggal 9 November 1923 mlayu nanging bisa dicekel pulisi. Dhèwèké diadili lan olèh ukuman 5 taun penjara. Dhèwèké dipenjara ing Landsberg. Nanging sawisé prastawa iki jenengé Hitler dadi misuwur sa-Jerman.
[sunting] Mein Kampf
Artikel utama: Mein Kampf
Nalika dipenjara ing Landsberg, Hitler ndikté bukuné Mein Kampf ("Perjuwanganku") marang wakilé Rudolf Hess. Buku iki isiné otobiografiné lan gagasan-gagasané. Buku iki didol ing rong jilid ing taun 1925 lan 1926. Wusanané antara taun 1925 lan 1934 bisa payu 240.000 èksemplar. Bubar Perang Donya II, ana 10 yuta èksemplar sing wis didol lan didum (mantèn anyar lan prajurit olèh gratis).